Trust


NEW IDEA

Siangnya Yasir menuju Pasar Mergan, menemui Mas Muri untuk menceritakan rencananya membuka cabang usaha baru, agen beras, minta pendapatnya dulu. Biar nanti Mas Muri yang menyampaikan ke majikannya, seperti biasanya.

Setelah mencium punggung tangan Pak Atmaja, Yasir segera ijin ke gudang, dia tahu pasti Mas Muri sedang bareng Toto di Gudang.

“Opo Sir?”, Muri langsung menyambut kedatangan Yasir dengan pertanyaan, dia sudah paham tabiat Yasir kalo datang dengan muka serius.

Selanjutnya Yasir menceritakan idenya, menambah usaha baru dengan membuka agen beras, termasuk kemungkinan Pak Waluyo mau menjadi suplier beras yang sedang terkenal yaitu merk Matahari, karena merupakan salah satu produk dari pabrik Pak Waluyo di Arjosari. Segala alasan yang menguatkan dia sampaikan secara gamblang. Bahkan Yasir menambahkan dari segi formal menurut ilmu manajemen yaitu tentang pengembangan produk baru.

Kotler dalam bukunya Marketing Management (2009) mengemukakan bahwa ada delapan proses pengembangan produk baru yaitu mencakup: pemunculan gagasan (idea generation), penyaringan gagasan (idea screening), pengembangan dan pengujian konsep (concept development and testing), pengembangan strategi pemasaran (marketing strategy development), analisis bisnis (business analysis), pengembangan produk (product development), pengujian pasar (market testing), dan komersialisasi (commercialization). Dalam setiap tahapan proses tersebut, manajemen akan mereview dan mengambil keputusan apakah lanjut atau menghentikan proses pengembangan produk baru tersebut.

Meski tidak spesifik, tapi secara garis besar, beras masuk kategori produk baru bagi bisnis keluarga Atmaja, karena selama ini hanya fokus satu macam barang, yaitu bawang.

Muri mengangguk-angguk tanda mengerti dengan apa yang disampaikan Yasir.

“Nanti kamu jelaskan lagi aja sama Mas Sanjaya Sir”, suara Pak Atmaja mengagetkan keduanya. Ternyata majikannya itu mendengarkan dari pintu gudang. Menurut dia itu rencana yang berani dan masuk akal, tapi dia tidak berani memutuskan begitu saja untuk menyatakan setuju atau tidak setuju. Dia perlu berembuk dengan anak-anaknya, terutama anak tertua, Sanjaya, seperti biasanya. Bahkan Sanjaya sendiri juga tidak langsung memutuskan, dia akan menelpon kedua adiknya, Rama dan Andra untuk dimintai pendapat. Meski perbedaan umur, tapi keluarga Atmaja memang terbiasa berembuk untuk memutuskan suatu masalah.

“Eh, enggih pak”. Yasir menjawab dengan agak kikuk.

“Harus dipertimbangkan matang, karena ini investasi baru dan membutuhkan dana yang cukup besar”, Muri menambahkan.

“Engko nek Mas Sanjaya luang wektune, kalian paling dipanggil ke rumah, menurut Bapak si masuk akal Sir, tapi seperti Muri bilang, ini bukan sekedar ide frontal, tapi melibatkan uang yang tidak sedikit. Berbeda dengan toko yang sekarang kamu pegang, misal kamu tidak mendapat pelanggan baru, tempat tersebut tetap bisa jadi gudang agar stok tidak sampai kehabisan, meski pada kenyataannya, sekarang mulai kewalahan karena pelanggan baru yang cenderung bertambah”, Pak Atmaja menambahkan.

Obrolan mengenai usaha baru itu masih terus berlangsung, saat sebuah mobil berhenti di depan toko. Ternyata mobil keluarga Atmaja, nampak Pak Hasan turun dari kursi kemudi, disusul Meli turun dari pintu sisi yang lain.

“Pa, besok pagi Meli mau ke Kasin, minta diantar pak Hasan Ya”, Meli langsung menghambur ke Bapaknya.

“Ngapain nduk?”

“Mau bantu aja, sekalian belajar dagang”.

“Emang kamu mau bangun jam berapa? Sanggup melek jam 4 pagi?”, Pak Atmaja memang tak pernah bisa mnolak keinginan anak gadisnya, tapi bangun pagi buta bukanlah kebiasaan Meli, dia juga kawatir anaknya malah sakit karena kurang tidur. “Lagian kok tumben kamu mau pagi-pagi ke Kasin, kenapa ga di sini aja?”

“Kan di sini sudah ada Mas Muri sama Mas Toto, di Kasin kan ga ada yang jaga etalase kalo Mas Yasir lagi bantu Feri angkat barang”. Meli memang beberapa kali ke Kasin dan menyaksikan kesibukan yang terjadi, cukup kerepotan. Tapi sebenarnya ada hal yang membuat dia bersikeras ingin ke Kasin, karena kemarin tanpa sengaja dia mendengar langganan bapaknya yang sedang bertamu ke rumah, bilang ada gadis yang membantu di Kasin, menulis bon dan melayani pembelian. Meski sekilas, tapi Meli dengar dengan jelas dan membuat dia merana. Dia penasaran ingin tahu, sekaligus muncul rasa marah yang susah dimengerti. Saat itu dia juga melihat Yasir di situ, tapi dia berusaha cuek tidak mempedulikan.

“Yaudah, besok habis subuh biar diantar Pak Hasan. Tapi ingat nduk, kamu ga boleh tidur malam-malam biar bisa bangun pagi”. Pak Atmaja mengalah seperti biasa.

Semua yang hadir di tempat tersebut hanya diam saja, tidak mengerti dengan maksud sebenarnya dari Meli, mereka semua tahu, selama ini Meli tidak pernah benar-benar membantu saat di pasar, selain meminta dibantu mengerjakan PR atau main semata. Kecuali Muri, dia justeru menangkap ada kesan cari perhatian dari sikap Meli yang dingin terhadap Yasir, tidak seperti biasanya yang langsung bermanja-manja. Dia berpikir, ada hal apa yang menginspirasi Meli memiliki ide pagi buta ke pasar.

Muri menarik Yasir ke pojok sisi dalam gudang agar bisa bicara, dia merasa ada yang perlu ditanyakan. “Apakah ada sesuatu di Kasin yang tidak saya tahu Sir?”

“Apa mas? Saya tidak paham”. Yasir malah bingung karena ditarik Muri ke dalam.

“Apakah ada sesuatu di pagi hari di Kasin? Di tokomu.”

“Enggak ada apa-apa mas”.

“Kamu yakin?”

“Ya… Eh, beberap hari ini, Fany membantu melayani pembeli. Kata dia karena libur semester sekalian belajar dagang”.

“Itu dia. Akirnya ketemu jawabannya”. Kata Muri mendengar penjelaan yasir.

“Maksud Mas Muri apaan?”

Tak! “Aduh.. Apaan si Mas?”, Yasir mengaduh karena muri menyentil jidatnya.

“Kamu memang tidak peka sama perempuan. Kamu nggak lihat Meli berubah sikap gitu. Biasanya dia langsung manja sama kamu bukan? Dan sekarang dia tiba-tiba ingin ke Kasin pagi buta sekedar ingin membantu katanya. Kamu percaya?” Muri bicara dengan sedikit berbisik. “Coba kamu pikir kaitan semua hal itu dan kamu,

“Apa kaitannya Mas? Saya masih mikirin rencana pengembangan bisnis, jadi kurang peduli hal lain”. Yasir mengernyit, masih meraba omongan Muri.

“Meli sepertinya tahu kalo Fany membantu kamu di kasin beberapa hari ini”. Muri mulai bisa menebak perubahan sikap Meli.

“Kok bisa mas? Padahal saya kan tidak pernah cerita ke siapa-siapa dan kalopun dia tahu terus apa hubungannya dengan keinginan dia untuk ke Kasin pagi-besok”. Yasir masih belum bisa memahami, membuat Muri gemes dan kembali menyentil jidat Yasir.

“Emang yang punya mata kamu saja? Udah akh, kamu hadapi aja besok, kalo dua gadis itu menemanimu jualan. kamu simpulkan sendiri saja”. Jawab Muri sambil berlalu pergi meninggalkan Yasir yang masih belum paham betul.

“Apa bener Meli bukan adek kecil lagi, seperti Fany bilang”, monolog Yasir dalam hati setelah beberapa menit berpikir, akhirnya dia memilih mengabaikan pikiran itu dan menyusul Muri ke depan. DI depan nampak Meli masih duduk di samping bapaknya sambil memainkan klakulator, entah menghitung apa. Mungkin sedang belajar memakai alat bantu hitung untuk mengaplikasikan esok hari di Kasin, batin Yasir.

Saat Yasir datang, Meli hanya mengerling sekilas tanpa kata seperti biasanya. Yasir baru merasakan sikap Meli yang beda seperti dibilang Muri tadi di belakang. Dia tidak ceria seperti biasanya saat berjumpa dirinya. Ada apa lagi anak manja ini? Kembali Yasir mengernyitkan jidatnya.

Selanjutnya Yasir hendak pamit untuk pulang ke kosan, dia butuh istirahat. Di salaman ke Pak Atmaja dan Muri. “Dek, Mas Yasir duluan ya”. Yasir coba menetralisir rasa canggung yang menghinggapinya karena perubahan sikap Meli. Biasanya dia akan mengelus puncak kepala Meli, tapi saat itu sikap Meli membuat dia agak segan melakukannya.

“Ya”. Jawab Meli ketus.

Yasir agak kaget mendengar jawaban Meli, dia tatap muka inocent itu, ada sorot marah terpancar dari matanya. Yasir menghela nafas panjang lalu menghembuskannya sambil berlalu menuju parkir motor.

===============***==============

CURIGA

Keesokan paginya, seperti biasa Yasir membuka tokonya dibantu Feri. Meski sudah mulai kerepotan tapi mereka tetap bertahan tidak menambah tenaga pembantu. Karena keramaian pelanggan masih belum stabil dan kadang hanya terjadi pada bebrap jam saja, itupun tidak tiap hari. Pelanggan baru mereka merupakan pedagang kecil yang perlu beberap hari untuk menghabiskan jualanya kadang sampai satu pekan mereka kembali berbelanja.

Mba Fany nggak datang Mas?”, tanya Feri saat mereka berdua sedang menikmati teh manis hangat sambil menunggu pelanggan datang.

“Enggak tahu Fer, kemarin dia juga nggak bilang mau datang lagi kan hari ini”. Mungkin masih tidur. Yasir merogoh sakunya karena merasakan ponselnya bergetar dengan suara notifikasi SMS. “Baru diomongin Fer, nih dia SMS, ga bisa datang, katanya badannya kurang fit”.

Selanjutnya mereka mulai sibuk menghadapi pelanggan hingga terdengar Azan berkumandang, seperti biasanya, Yasir akan ke masjid dan Feri yang menjaga toko, nanti bergantian shalat.

Pukul 5 pagi lewat 15 menit, Meli datang ke toko diantar Pak Hasan, ternyata anak itu serius dengan rencananya. Setelah mengucap salam dia langsung masuk ke belakang etalase, memegang pulpen dan nota pembelian.

“Dek, tadi bangun jam berapa?”, Tanya Yasir karena Meli diam saja, tidak ada tegur sapa seperti biasanya. “Kamu mau teh hangat dek?” Sekali lagi Yasir mencoba membuka percakapan, Fany masih membuang muka pura-pura menulis di nota pembelian.

“Loh, kasire anyar neh Mas? Pinter men golek kasir, ayu-ayu men, sing wingi prei tah?” Seorang ibu yang tiap hari lewat depan toko menegur dengan suara cukup kencang, orang pasar pada umumnya memang memiliki intonasi suara yang tinggi dan blak-blakan.

Teguran itu membuat Meli beringsut dengan muka memerah. “Yang kemarin siapa emang?”, tanyanya kemudian ke arah Yasir dan tanpa menyebut mas ataupun nama, nada ketus jelas kentara dari suaranya.

Yasir hanya menghela nafas dalam dan menghembuskannya.

“Yang kemarin siapa?”, Meli mengulangi pertanyaannya.

“Kamu nanya siapa dek?”. Yasir menjawab balik dengan pertanyaan bernada datar.

“Siapa?”, Meli menaikan dua oktaf suaranya.

Yasir tak menjawab, berbarengan seorang bapak setengah baya yang merupakan pelanggan baru memesan 2 karung bawang 10 kilograman. Yasir mengambil pulpen dan kertas nota dari tangan Meli dengan gerakan mendadak sehingga Meli tidak sempat mempertahankannya. Dia lalu menulis pesanan dan harga, per karung 10 kilogram, bawang putih dibanderol 230 ribu. “Jadi 460 ribu pak”, lanjut Yasir memberikan nota ke Pelanggan. “Fer, 2 karung buat Pak Munari”, Yasir meneriakan pesanan ke arah gudang. Meli hanya diam menatap Yasir dari samping.

Selanjutnya Yasir mengambil teh manis hangat dan mendekati Meli. “Ayok dek, minum dulu”. Meli hanya diam membisu. “Ayok, biar perut kamu hangat”, Yasir mengelus kepala Meli sambil mendekatkan gelas ke mulutnya. Akhirnya Meli membuka mulut dan mencecap teh hangat itu. Dia tidak pernah berdaya kalo Yasir sudah mengelus puncak kepalanya. Ada getar halus yang tak terbantahkan. “Duduk Dek” Lanjut Yasir masih sambil memgang gelas dan melanjutkan menyuapi minum Meli setelah gadis itu duduk.

“Kamu sebenarnya kenapa si Dek? Datang pagi kok tidak mau menyapa mas Yasir, emang salah Mas apa?”Kata Yasir saat Meli mulai terlihat tenang.

“Kemarin siapa yang jadi kasir di sini?” Meli masih mengulangi pertanyaan yang sama.

“Kalimatmu kurang lengkap dek, tidak seperti biasanya. Kamu nanya sama orang apa sama bawang?”, Yasir justeru balik menggoda.

“Mas Yasir jahat”, kata meli sambil memukul pundak Yasir yang berjongkok di depannya masih sambil memegang gelas teh, untung Yasir tidak mudah kaget, sehingga gelas tidak sampai jatuh.

“Jahat apa emang? Mas jadi bingung malah”.

“Mas Yasir ga mau ngasih tahu. Yaudah, Meli mau pulang aja”. Kata Meli kemudian sambil mau bangkit berdiri, tapi Yasir menahan pundaknya.

“Ngasih tahu apaan? Coba ngomong yang jelas dek”.

“Ihh..Sebel. Meli benci Mas Yasir”.

“Sttt.. Dek ada yang beli”. Yasir bangkit dan melayani pembeli baru lagi, pesanan 10 kilogram bawang. Menulis nota dan memberi tahu Feri untuk mengambil serta mengantar ke kendaraan pembeli. Belum selesai menyimoan uang pembeayaran, datang dua pelanggan lagi dan disusul pelanggan lain membuat Yasir kerepotan dan mengabaikan Meli yang duduk dengan muka sembab, dia menangis menghadap meja teh sehingga tidak terlihat oleh pembeli.

“Loh, Meli endi Sir”, Suara yang sangat familiar dari orang yang sangat dia hormati tiba-tiba menyeruak di antara pembeli yang sedang dilayaninya. Pak Atmaja datang.

“Lagi minum teh Pak”, Jawab Yasir sambil mengerling ke belakang.

Pak Atmaja datang bukan tanpa sebab, Muri telah menceritakan prasangkanya kenapa Meli berkeras ingin membantu di Kasin. Prasangka bahwa Meli tahu ada perempuan yang membantu Yasir berjualan beberapa hari belakangan dan Pak Atmaja membenarkan hal itu, Karena salah satu pelanggannya yang merupakan tetangga di perumahan Panorama dua hari yang lalu bercerita adanya kasir perempuan di toko Kasin. Istrinya, Bu Atmaja juga mulai menandai Meli, kecurigaan Meli menyukai Yasir lebih dari skedar teman atau kakak angkat yang membantu mengerjakan PR, Meli yang kerap cari perhatian ke Yasir di luar batas kewajaran seorang anak yang manja dan kadang marah tanpa alasan jelas jika dicuekin sama Yasir.

Pak Atmaja bergegas masuk ke belakang etalase, “Jarene rep ngewangi, kok malah ngetah-ngeteh ae nduk”, sapanya kemudian karena melihat Meli yang duduk membelakanginya masih memegang gelas teh. Yasir segera meraih tangan kanan majikannya, bersalaman dan mencium punggung tangan itu penuh takzim.

Meli sebenarnya ingin segera berpaling ke bapaknya, tapi matanya masih sembab. Dia malu kalo bapaknya tahu niat sebenarnya dia ke kasin. “Bentar lagi pak”, jawabnya kemudian setelah mengatur nafas sambil pura-pura mencecap teh untuk menyamarkan getaran suaranya. Selanjutnya dia mengusap mata dengan cepat, bangun menjajari Yasir dan meraih pulpen serta kertas nota kosong yang tergelatak karena Yasir sedang menerima uang dari pembeli, bersikap seolah sudah bisa dan biasa melayani pembeli. Dicatatnya pesanan dari pembeli lainnya, menjumlah harga dengan kalkulator dan menerima uang dari pembelian, beringsut ke meja teh, menarik laci, menaruh uang serta mengambil kembalian. Selanjutnya ia berjalan menuju gudang, menerikana pesanan ke Feri. “40 kilogram Bawang Fer”

“Buat siapa Mba?”, Feri balas tanya.

Ternyata Meli belum paham benar, bahwa setiap nota ada nama pembeli yang harus dicantumkan, agar Feri tidak salah mengantar barnag ke kendaraan si pembeli. “Eh iya, siapa Ya”. Mengenal nama pembeli selain memudahkan pengantaran tidak salah, juga sebagai upaya untuk lebih dekat dan kenal, sehingga saat berjumpa di suatu tempat bisa menyapa dengan menyebut namanya, tidak sekedar pak atau Bu. Dengan menyebut nama, akan terasa lebih akrab, hal ini diharapkan mampu membuat pembeli terkesan dan bisa menjadi pelanggan tetap.

“Bu Wanti Fer”, Suara Yasir dari atas kepala Meli mengagetkan, “40 kilogram buat Bu Wanti”, Meli berbalik dan seketika itu juga badannya menabrak dada bidang Yaasir yang masih berdiri memastikan Feri tidak salah mengartikan perkataannya. “Dek, ngapain si buru-buru”.

“Sebel”, Jawaban yang tidak nyambung keluar dari mulut Meli sambil memukul punggung Yasir yang sedang berbalik menuju etalase. Bugh! lagi dan lagi. Yasir mendiamkan tingkah anak gadis majikannya. Dia bergegas melayani pembeli berikutnya. “Yang ini Bapak Weda dek, tolong tuliskan bon ya”.

Meli menuruti apa yang dikatakan Yasir. Sementara Pak Atmaja yang menyaksikan kejadian itu hanya tersenyum.

Intensitas kedatangan pembeli mulai menurun, kalopun ada Meli sudah bisa menanganinya, dia juga berani menanyakan nama pembeli untuk dicatat di nota pembelian.

“Dingaren Bapak ke Kasin, apa di Mergan tidak kerepotan Pak?”, tanya Yasir pada majikannya yang sedari tadi hanya duduk menonton. Pembeli sudah mulai sepi karena hari menjelang siang, pasar memang ramai dari Subuh sampai kisaran jam 7 pagi.

“Enggak juga, cuma memastikan Meli membantu bukan mengganggu. Tapi nampaknya memang sudah kamu ajari dengan baik Sir.” Jawab Atmaja. “Oh iya Sir Mas Andra kan lagi mudik, katanya mau ke Bromo sama Rini”, Lanjutnya.

Rini adalah tunangan dari Andra, sudah lama mereka pacaran, dari kuliah dulu. Rini yang aseli Jakarta kembali ke asalnya dan bekerja di ibukota. Hal itu pula yang membuat Andra menolak meneruskan bisnis Bapaknya dan memilih melanjutkan S2 di Jakarta dan mencari pekerjaan di sana. Demi selalu dekat dengan pujaan hatinya.

“Oh ya, nanti malam biar Yasir ke rumah”, jawab Yasir karena ucapan majikannya seolah menyuruh dia menemui Andra, anak kedua majikannya itu.

“Besok pagi dia ke Bromo, katanya Meli mau ikut. Jadi nduk, kamu ikut?”, Atmaja mencolek punggung Meli yang masih memandang ke arah luar toko setelah melayani pembeli dan sedang tidak ada pembeli yang datang lagi.

“Uhmm”, Meli menoleh bergumam, sambil memanyunkan bibirnya ke arah Yasir. Bapaknya pasti paham.

“Nanti siang, kamu langsung ke rumah saja Sir, kamu ikut nemenin Andra sama Meli. Kan berangkat tengah malem, mau liat sunres katanya. Sekalian awasi kakakmu, mereka kan belum syah suami isteri, jangan sampai Bapak nambah cucu sebelum ada ijab kabul”. Atmaja akhirnya menjelasakan maksudnya.

“Yang jaga di sini siapa nanti Pak?”, Yasir merasa keberatan.

“Nanti Muri kemari, Bapak di Mergan. Kan ada Feri yang sudah hafal pelanggan”. Atmaja menjelaskan. “yaudah, udah siang, Bapak balik dulu. Nduk kamu mau disini sampai siang apa mau ikut pulang?”, lanjutnya kepada Meli.

“Ikut Pulang”, jawab Meli singkat.

Selanjutnya, Yasir mengiringi majikannya ke parkiran. Meli mngekor di belakang.

Buk..!, tiba-tiba sebelum masuk mobil, Meli memukul punggung Yasir.

“Apaan si Dek?”, Yasir kaget

“Sebel”, jawab Meli sambil lewat ke pintu mobil dan sekali lagi memukul Yasir di bagian dada. “Ugh!”

Yasir hanya tersenyum, dia pegang puncak kepala anak majikannya saat menurunkan badan masuk ke mobil agar tidak menabrak bagian atas pintu mobil. Atmaja hanya senyum simpul menyaksikan kelakuan anak dan pegawai kesayangannya itu.

===============***==============

Iklan

3 respons untuk ‘Trust

Tinggalkan Balasan ke Triyanto Banyumasan Batalkan balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s