BERBUNGA
Yasir sudah berada di cabang baru Pasar Kasin beberap hari belakangan ini. Ya, akhirnya setelah survey dengan Cak No dan memilih beberap toko yang dijual di Pasar tersebut. Yasir menyampaikan kepada Pak atmaja dan Mas Sanjaya. Sanjaya datang beberapa hari berikutnya bersama Yasir dan Muri untuk mempertimbangkan pilihan yang sesuai. Harus dekat dengan akses yang mudah untuk bongkar muat barang, kalopun masuk pasar, jangan terlalu jauh. akhirnya pilihan pada Toko yang tepat di sisi barat Pasar, kalo siang atau malam, area depan toko kosong jadi memungkinkan kendaraan pengirim barang sampai dekat toko, tanpa harus berhenti di jalan raya.
Yasir juga sudah menghadap bagian Tata Usaha di kampus mengurus administrasi agar bisa melanjutkan kuliahnya ikut kelas reguler siang. Yuda yang lolos audisi sinetron juga memutuskan mengikuti jejak Yasir sesuai nasehat saat di Pulosari. Mempertimbangkan waktu shooting dan jam istriahat yang perlu kedisiplinan tinggi demi kesehatan agar saat kuliah tetap bisa mengikuti pelajaran.
Dengan kesibukan yang ada saat ini, intensitas pertemuan dengan Fany menjadi berkurang. Fany tidak punya alasan untuk pindah kelas reguler siang, dia tetap ikiut kelas normal. Pagi. Meski sesekali Fany datang berkunjung ke Kasin untuk mengambil bawang pesanan Bapaknya, tapi tidak bisa berlama-lama ngobrol dengan Yasir dan di luar itu, tidak mungkin mengajak Yasir pergi saat malam, karena jam kuliah reguler sore yang diikuti Yasir dan Yuda kerap berakhir sampai malam. Fany juga mencoba mengerti dengan kondisi Yasir, meski dia menolak akan ketakutan yang pernah disampaikan Yasir waktu itu, ketakutan akan ada yang tersakiti. Dia tetap mempertahankan rasa itu karena pada kenyataannya memang tak bisa hilang meski pertemuan dengan yasir tidak seintens dulu.
Berbeda dengan Meli yang sudah kelas 3, dia tetap punya alasan untuk bisa bertemu kakak angkatnya. Dia kerap datang ke Kasin saat libur, kadang membantu menulis nota pembelian atau sekedar duduk menonton hilir mudik pembeli. Kedatangan Meli tidak dari pagi saat pasar mulai buka tapi sudah siang saat pembeli sudah mengendur. Dia selalu membawa buku PR untuk dikerjakan bersama Yasir saat jelang tengah hari dan pembeli tidak ada.
Pembeli Yasir sebagian merupakan pelanggan Pak Atmaja yang berpindah karena jarak yang lebih dekat, juga ada beberapa pelanggan yang benar-benar baru. inilah yang disasar Yasir dengan ide membuka cabang baru. Semakin hari pelanggan baru semakin bertambah. Dari awal buka cabang baru di Kasin ini, Yasir mengajak Feri, anak Cak No. Tadinya mau mengajak Toto tapi tidak diijinkan oleh Muri, Toto sudah menjadi orang kepercayaan Muri dan dia sangant membutuhkannya, apalagi sekarang Yasir tidak ada, jadi Toto diposisikan pengganti Yasir di Mergan. Feri memang masih remaja, tapi sifat dan sikapnya lebih dewasa dari umurnya, semua karena gemblengan hidup yang keras, juga turunan sikap dari Cak No yangn pekerja keras. Kadang saat sedang ramai, Yasir juga minta bantuan Cak No untuk memabantu, terutama untuk mengantar barang pesanan.
Yasir dan Feri baru membuka toko suatu hari jelang subuh, termos berisi air panas dan botol besar berisi air mineral ia letakan di meja kecil sudut toko di belakang etalase sederhana yang juga berukuran kecil, sekedar pembatas dia dan pembeli serta tempat menulis nota pembelian. 2 gelas berukuran besar, sendok, sekotak teh celup serta satu toples ukuran sedang berisi gula putih nampak di atas nampan kecil di atas meja tersebut. Cabang baru toko Atmaja sudah berjalan 6 bulan lebih. Sekolah dan perkuliahan baru saja selesai melaksanakan Ujian Akhir Semester atau UAS, begitu juga Yasir, nilai ipk tidak jauh berbeda dengan semester-semester sebelumnya. Cukuplah ditengah kesibukannya memegang tanggung jawab cabang toko Atmaja. Hari ini masuk hari ketiga libur semester. Yasir gembira, karena pada hari libur dia bisa lebih fokus dengan pekerjaannya. Dia punya rencana pengembangan bisnis yang sedang ia susun untuk disampaikan ke Mas Sanjaya.
Yasir menuang air panas ke 2 buah gelas, dia berniat membuat teh manis untuk dirinya dan Feri saat terdengar suara knalpot yang tidak asing baginya, knalpot freeflow dengan suara merdu yang keluar dari mesin 2 silinder segaris.
“Hai Yes”. Gadis cantik berperawakan langsing dengan tinggi tubuh sedang berdiri di pintu toko menenteng helm full face merah.
“Hai, Fay. Kamu tidak bawa mobil?”.
“Kamu tidak nanya kabarku?”.
“Dari tampangmu sudah terlihat seperti biasanya, cantik dan enrjik, jadi saya rasa kabarmu baik-baik saja”.
“Gimana kabarmu sendiri Yes?”.
“Seperti yang kau lihat, masih seperti dulu. Anak pasar yang bau bawang. Bisa disebut anak bawang saja kalo kamu mau hahaha. Ada yang bisa saya bantu Fay, pagi buta datang tanpa mobil, kamu tidak bermaksud belanja kan?”.
“Boleh aku masuk?”.
“Oh iya, silahkan”. Yasir menggeser etalase dan menarik kursi dari pojokan. “Silahkan masuk kemari, maaf tempatnya sempit”. Mereka bertemu pandang, sudah hampir 2 bulan tidak berjumpa, Yasir merasakan debaran di dadanya, debar bahagia tapi ada perih yang menggurat samar, entah, dia juga masih belum memahami makna perasaan yang muncul berbarengan tiap ingat atau bertemu Fany.
Fany duduk dan melepas jaket jeansnya, digantung pada paku yang menempel dinding dalam toko, disamping dinding itu terdapat pintu masuk ke ruang dalam yang merupakan gudang bawang, tumpukan karung bawang nampak memenuhi ruangan itu.
“Kau nampak kurusan Yes”, Sapanya saat kembali duduk dan memandang tubuh Yasir yang sedang mengaduk teh setelah menuang gula pasir kedalamnya. “Sepertinya bebanmu semakin sarat dengan toko baru ini. Apakah kamu cukup istirahat?”, Fany melanjutkan, nampak jelas nada khawatri dalam kalimatnya.
“Cukup dan harus dicukupkan Fay, kamu tidak perlu khawatri gitu, saya sudah gede dan memang ini sudah jadi tanggung jawabku. Saya tinggal ke warung bentar ya, ga ada gelas lagi di sini buat teh untuk kamu”. Yasir hendak berjalan.
“Tidak usah Yes, aku minum dari gelasmu saja, kalo kamu tidak keberatan”, Fany mencegah.
“Baiklah. Kalo gitu minumlah dulu selagi hangat, kamu kan habis kena angin dingin, nanti masuk angin”, kata Yasir kemudia sambil mengangsurkan gelas berisi teh yang masih mengepul ke arah Fany. Tapi Fany tidak mengambil gelas itu, melainkan memegang tangan Yasir yang menggenggam pegangan gelas, lalu menariknya perlahan menuju mulutnya, mengendus sekilas untuk memastikan tidak terlalu panas, mencecap dan meneguknya dua kali. Yasir kembali merasakan sensasi getar dalam dada dan sekaligus rasa perih yang samar berbarengan mengusik di relungnya. Firasat apa ini, batinya. “Fer, ini tehnya, ntar keburu dingin”, terikanya kemudian.
“Iya mas”, Feri menjawab dari dalam gudang.
Sementara pembeli mulai datang satu persatu. Fany membantu menulis nota sehingga Yasir bisa lebih leluasa membantu Feri mengambil pesanan dan mengantar ke kendaraan pembeli. Azan Subuh berkumandang pertanda Sang Pemilik Alam meminta hakNya, “Fer tinggal bentar ya, Ayo Fay, kita ke masjid shalat dulu”, Yasir mengingatkan Fany yang sedang menerima uang dari pembeli.
Setelah menypimpan uang di laci meja tempat teh dan menguncinya, serta menyerahkan kunci ke Feri, Fany menghampiri Yasir. “Ayo, di masjid ada mukena kan? Aku nggak bawa soalnya”.
“Ada”, Jawab Yasir singkat
Sepulang dari masjid, Yasir mampir membeli jajanan pasar untuk sarapan. Dia juga menyuruh Fany memilih makanan yang ia suka.
Sesampai di toko, Yasir menyuruh Feri bergantian ke masjid untuk menunaikan shalat, sudah jadi rutinitas mereka berdua. Selanjutnya Yasir masih melayani beberapa pembeli, memang belum seramai toko utama di Mergan, tapi pelanggan baru selalu ada saja yang datang. Mereka tentu tidak tiap harti berbelanja, karena toko Atmaja cabang Kasin juga sama dengan di Mergan, hanya melayani penjualan secara partai tidak mengecer, jadi rata-rata pembeli akan datang 3 hari sampai satu pekan sekali.
“Kamu sebenarnya kenapa pagi-pagi kemari Fay?”, kata Yasir setelah hari bergerak siang ditandai sang dewa terang memacarkan sinarnya, dan pembeli mulai berkurang. “Tidak sedang dimarahi Pak Prawira kan? Bukan minggat dari rumah dan tanpa ijin tadi pagi perginya?”.
“Enggak Yes, aku pergi pamit sama papa dan mama kok”.
“Apa kamu bilang mau kemari?”.
“Iya, aku bilang mau ke pasar Kasin ketemu kamu”.
“Apa kata papa kamu?”
“Enggak ada, aku bilang mau belajar berdagang sama kamu sekalian bantuin kalo diijinkan. Papa kan udah tahu kamu Yes, Pak Atmaja pasti udah cerita mengenai cabang baru yang dipercayakan ke kamu, jadi dia tidak perlu bertanya lagi, sudah paham”. Fany memberi alasan yang tepat. Dan memang benar, Pak Prawira memang sudah tahu keberadaan cabang baru toko Atmaja di Kasin, sahabatnya dari kecil sudah bercerita termasuk siapa yang memegang kendali.
“Syukur deh, saya cuma khawatir kamu pergi tanpa ijin dulu, nanti dicariin, disangka ada yang nyulik”, Yasir berseloroh.
Obrolan ringan sambil menikmati jajanan pasar pengisi perut berjalan diselingi candaan, tanpa terasa siang makin menampakan terangnya.
“Kamu mau makan apa Fay, biar dibeliin sama Feri sekalian?”, Jajanan pasar hanyalah pengganjal sementara, nasi tetap menjadi sumber energi yang menjadi kebutuhan utama, apalagi bagi pekerja yang lebih mengandalkan fisik.
“Enggak usah, aku makan ntar siang aja di rumah, masih kenyang. Lagian aku memang nggak biasa sarapan nasi”, Fany menolak halus, memang dia biasanya hanya makan roti panggang atau roti isi di pagi sebelum berangkat kuliah.
“Kamu tadi bangun pagi loh Fay, tidak seperti biasanya kalo mau kuliah, jadi menurutku kamu perlu karbohidrat lebih dibanding biasanya”, Yasir menasehati.
“Enggak papa, aku masih kuat Yes”.
“Kamu takut gendut Fay?”
“Enggak gitu, orang kenyang masa dipaksa diisi lagi”.
“Kalo gendut kamu takut ga cantik lagi ya?”.
“Apaan si Yes. Udah ah aku mau pulang, udah siang dan kayaknya bantuanku sudah tidak diperlukan lagi”.
“Ya, ngambek dia, tapi kalo ngambek kok jadi imut gitu kamu Fay. Aduhhh…”. Yasir terpekik karena Fany mencubit pinggangnya dengan kuat.
“Udah ah, aku beneran mau pulang. Besok aku kemari lagi ya Yes”.
“Eh jangan Fay”.
“Kenapa? Kamu nggak suka aku kemari?”
“Bukan begitu, saya takut nggak sanggup bayar gaji kamu”. Yasir tertawa, disusul pukulan Fany mendarat pelan di punggungnya.
“Besok beneran, aku kesini lagi ya Yes”
“Jangan Fay. ehm… Jangan, jangan ragu-ragu hahahaha… ” Yasir masih bercanda seolah sengaja memperlambat Fany yang udah mau melangkah keluar toko. “Makasih banyak Fay”.
“Iya. Bye”, Fany tersenyum dan bergegas ke parkiran.
Sebenarnya Yasir agak risi dengan keberadaan Fany di toko itu, jelas Fany tidak sekedar ingin belajar berdagang, mereka berdua tahu itu, pun Yasir tidak megingkari rasa bahagia saat bersama anak gadis Prawira itu. Seolah hidupnya semakin cerah dan penuh warna. Tapi Yasir juga tidak mau berharap lebih, dia harus tetap tahu diri. Bahkan rasa perih yang samar menyelinap ke relung dadanya tak urung menjadi pertimbangan sendiri, seolah itu merupakan firasat yang kurang baik.
Selepas kepergian Fany, Yasir menuju gudang membantu Feri membereskan barang yang agak berantakan karena tiap pengambilan barang untuk pembeli memang terburu-buru, jadi mengambil barang yang paling mudah digapai, maklum mereka hanya berdua dan pelanggan makin bertambah. Belum lagi ada pesanan yang minta diantar. Jadi setelah sarapan pagi mereka akan beberes dan mendekati tengah hari Feri akan mulai pengantaran barang. Kadang kalo lagi banyak, Cak No ikut membantu, mengantar yang dekat menggunakan becak.
Hari berikutnya ternyata Fany beneran datang lagi, beraktifitas seolah dia karyawan atau lebih tepatnya kasir di toko cabang Atmaja Kasin. Menulis nota pembelian, menerima dan menyimpan uang, sementara Yasir dan Feri melayani pengambilan dan pengantaran barang ke kendaraan si pembeli. Feri juga nampak bahagia karena sekarang pekerjaannya jadi lebih ringan karena Yasir ikut turun tangan. Biasanya, kalo cuma berdua, Yasir lebih sering di belakang etalase, melayani pembeli yang memesan dan membayar, hanya sesekali kalo pembeli sedang tidak ada dalam jangka lebih dari 15 menit, barulah ia berani meninggalkan etalase dan membantu Feri.
Yasir juga diberi inventaris ponsel oleh pak Atmaja, guna memudahkan komunikasi. Ponsel sederhana yang cukup buat telpon dan SMS. Hal ini memudahkan saat kedua toko membutuhkan sesuatu, misalanya salah satu toko stok barang menipis, maka akan segera mengambil dari toko yang masih memiliki stok berlebih. Kadang juga saat Yasir merasa kerepotan melayani pembeli, dia minta dipanggilkan Cak No untuk membantu. Kadang kalo sudah menyangkut keuangan yang butuh perhatian, maka Toto yang dikirim ke Kasin membantunya.
“Mbak Fany pacar Mas Yasir?”, tanya Feri di hari ketiga Fany di Kasin membantu Yasir, selepas gadis itu pulang.
“Bukan Fer”.
“Bukan atau belum Mas?”
“Entahlah Fer, saya sendiri bingung, kamu kan tahu siapa saya”.
“Tidak ada hubungannya Mas, masalah hati si tidak pandang bulu, tidak peduli siapa pemilik hati itu”, sikap dewasa Feri memang kerap muncul tanpa diduga, dan Yasir memahami itu, dia tidak pernah mengecilkan Feri yang masih remaja dan hanya anak tukang becak, Cak No.
“Kamu benar Fer, tapi Saya harus tetap tahu diri. Kamu pasti paham maksud saya”.
“Iya Mas, tapi sampai kapan Mas Yasir membiarkan hubungan itu menggantung tanpa kejelasan?”
“Entah Fer, kami hanya tetap coba menjalani, Fany tahu siapa saya dan dia tahu alasan saya yang tidak mau jujur secara lisan. Saya masih belum yaqin dengan perasaan ini, masih ada yang mengganjal, dan saya belum menemukan jawaban akan ganjalan itu”.
“Semoga jodoh Mas, Feri akan dukung langkah Mas Yasir, apapun itu”.
“Terimakasih Fer. Oh iya, bagaimana soal renacana menambah peluang usaha di sebelah kita ini?”. Memang toko sebelah yang berdempetan dengan toko Atmaja itu sudah beberapa pekan kosong, pemiliknya merasa kurang cocok dengan kios tersebut, penjualan kurang bagus. Pemiliknya bisnis telor tapi kerap berlebih yang tidak laku, dan umur telor jelas terbatas, sehingga lebih sering merugi. Yasir berencana menyewanya atau kalo Pa Atmaja setuju akan dibeli. Rencana dia bukan untuk menambah gudang penyimpanan bawang, tapi agen beras.
Beras merupakan kebutuhan pokok yang tiap hari dikonsumsi masyarakat indonesia pada umumnya. Yasir tidak bermaksud mengecer karena di Kasin sudah banyak pengecer beras. Agen juga sudah ada tapi belum banyak dan posisi beda block dengan toko Atmaja ini. Yasir masih mengantongi kartu nama pemilik pabrik beras bermerk yang sedang digandrungi masyarkat Malang saat ini, yaitu beras merk Matahari.
Beberapa bulan silam, saat Yasir pulang dari mengantar pesanan Bawang ke pasar Sukun, dia berhenti karena ada mobil mewah yang sedang diotak-atik entah oleh sopir atau montir. Seorang bapak setengah baya dengan pakaian perlente nampak berdiri menonton aktifitas orang yang sedang mengotak-atik mesin mobil itu.
“Yo opo Har? Kon iso ora?” Kata si perlente
“Dereng pak, bingung kulo, mboten onten sing aneh teng mesin”, kata orang yang dipanggil Har dari ba;lik kap mesin yang terbuka.
“Kenapa pak mobilnya?”, Yasir yang sudah berhenti bebrapa menit lau coba menyapa.
“Enggak tahu ini le, awakmu paham ta?”, kata si bapak perlente ke Yasir
“Itu mobil mewah pak, saya tidak paham, saya yakin ada sistem kontrol yang eror. Elektroniknya rumit. Saran saya panggil bengekel resmi untuk menangani”. Yasir memberi masukan.
“Waduh, aku wis kawanin iki”, jawab si Perlente lagi.
“Mau kemana pak? Biar saya antar, kebetulan saya mau ke arah Mergan”. Yasir menawarkan diri.
“Yo rodo muter, saya mau ke Arjosari, ke pabrik”. Jawab pria rapi itu lagi.
“Nggak papa. Saya udah selesai kok”.
“Ya sudah, saya telpon bengekel dulu. Har, kamu enteni kene yo. Aku melu mas iki ae, ben cepet. Paling engko nyambung taxi, soale aku ra nganggo helm”.
Setelah menelpon bengkel resmi dari merk mobil mewahnya, serta memberi tahu posisi mobil, Yasir pergi dengan penumpang bapak perlente yang ternyata bernama Waluyo Sutanto. Dia adalah pemilik pabrik Matahari yang berada di Jalan Arjosari. “Saya ikut sampai Langsep saja, nanti nyari taxi di sana, biar kamu tidak kejauhan”.
“Baik pak”.
Sesampai Langsep Raya, Yasir menurunkan pak Waluyo. Menunggunya smapai dapat taxi. Yasir tidak mau saat disuruh pergi duluan, dia tidak ingin Pak Waluyo mendapat masalah baru, karena nampak bahwa lelaki itu tidak terbiasa di jalan sendirian. Sebelum naik taxi, Pak Waluyo memberikan kartu nama, Yasir menerima dan menyimpannya di dompet. Sebenarnya Tadi Pak Waluyo mau membayar Yasir karena sudah mengantar sampai Langsep, Tapi Yasir menolak. Selama perjalanan dari SUkun dan saat menunggu taxi tadi, mereka sudah berkenalan dan mengobrol banyak hal, termasuk Yasir juga bercerita bahwa dia hanya pegawai pasar dan nyambi kuliah.
Kartu nama itulah yang memberi ide Yasir untuk membuka bisnis baru. Tertera di kartu nama. Waluyo Beras Matahari aseli Tumpang juga nomor telpon di bwahnya.
“Menurut saya punya peluang bagus Mas, tapi jelas membutuhkan tenaga tambahan”, Jawaban Feri membuyarkan lamuan Yasir.
“Ya pasti Fer, sekarang aja kita sudah mulai kerepotan”.
“Yaudah,disegerakan jadiin Mbak Fany isteri mas, jadi bisa membantu terus hahahaha”, Feri tertawa , meski memang dia berharap itu menjadi kenyataan. Dia memang merasa terbantu selama ada Fany di toko.
“Enak aja kamu, kita pikirkan pelan-pelan. Saya juga belum matur sama Bapak dan Mas Sanjaya. Nanti siang saya mau ke Mergan, ngomong Mas Muri dulu. Bapakmu kan sudah ngecek kemarin, kata dia cocok, saya jadi semangat”. Cak No memang selalu menjadi orang yang diajak bermusyawarah oleh Yasir dalam menentukan suatu masalah atau menyelesaikannya, termasuk ide-ide sebelum sampai ke Muri apalagi majikannya, Pak Atmaja. Meski cuma tukang becak, Cak No cukup bijak dalam memberi masukan dan nasehat. Sudah seperti bapak angkat saja bagi Yasir.
===============***==============
Absen lik 😁
SukaDisukai oleh 1 orang
wacane kapan kapan ya, nek kober, anu dawa kaya ikatan cinta mas al dan andien hahahaha
SukaSuka