?
“Hai Yes”, suara perempuan tiba-tiba mengusik Yasir yang sedang menulis nota pembelian. Pagi sebelum Subuh, di Pasar Mergan.
“Hai Fay”, Yasir tersenyum mendapati anak gadis Prawira group itu berada di seberang etalase tempat dia menulis nota. Jelas nampak wajah sumringah pada senyuman Yasir. “Pagi gini kamu ngapain ke pasar?”.
“Belanja Bawang”.
“Kamu ikut belanja?”.
“Bukan, memang aku sendiri yang belanja kok”, Jawab Fany sambil menunjuk mobil bak terbuka yang sudah berisi barang belanjaan dan sedang diisi beberapa karung bawang.
“Kamu yang nyopir? Sendirian?”, Yasir menampakan muka Heran, karena selama ini yang berbelanja adalah sopir dari restoran Atamaja. “525 ribu Bu”, Yasir menyerahkan nota kepada ibu yang berdiri di samping Fany.
“Iya, kenapa emang?”.
“Apa Pak Herman baik-baik saja”, Yasir kembali menyelidik, dia kenal baik dengan sopir Prawira Resto, karena kerap interaksi saat berbelanja di Pasar Mergan.
“Dia baik-baik saja, cuma aku memang bantu di resto termasuk pagi ini”.
“Oh gitu, rajin amat bangun pagi-pagi”. Yasir masih kurang yakin dengan alasan Fany.
“Rajin dong, sedikit belajar berbakti dan coba menjiwai bisnis papa sekalian”. Jawab Fany dengan senyuman yang sedikit dipaksakan. Ada nada yang kurang pas terdengar bagi Yasir.
“Nanti saya tanyakan ke Pak Herman, kalo dia belanja lagi, Apa kamu juga yang ambil kelapa di pasar Sukun”, Yasir melancarkan godaan atas keraguan yang ia yakini.
“Ngapain, gak percaya banget kamu Yes sama aku”.
“Percaya kok, saya percaya kamu yang minta dengan sedikit memaksa kepada Pak Herman agar kamu yang ke Mergan. Iya kan?” Yasir langsung menebak dengan suara mantap.
“Kamu ga suka aku kemari Yes?. Kok kayak ga percaya gitu”.
“Justeru karena saya suka kamu kemari Fay, makanya saya memastikan prasangka saya tidak salah. Bahwa kamu kemari bukan semata karena belanja kebutuhan restoran”, Yasir menjawab karena ada dorongan yang muncul begitu saja dari dalam hatinya, dia berharap Fany ke pasar karena ingin ketemu Yasir. “Eh, sudahlah. kamu gak liburan ke Jakarta lagi Fay?”. Yasir seolah tersadar, bahwa dia harus menekan hasratnya dan fokus dengan cita-cita.
“Kamu juga ngga liburan Yes”, Fany mengelak. Dia juga sebenarnya tahu maksud dari pertanyaan Yasir barusan, tapi tabu baginya untuk berterus terang. Memang beberapa hari belakangan dia membantu di salah satu cabang restoran bapakanya, itu juga karena termotivasi Yasir yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan kuliah. Fany biasanya hanya sekedar mengecek kesiapan pelayanan dan hal-hal kecil saja, tapi pagi ini dia sengaja bangun pagi sekali, karena tahu ada jadwal belanja ke Mergan, dengan alasan ingin menjiwai bisnis bapaknya, maka dia diijinkan membawa kendaraan sendiri tanpa dikawal Pak Herman. Padahal alasan utamanya adalah bertemu Yasir. “Yes, apa kamu bisa nemenin aku ke Pulo Sari, besok, Sabtu malam? kalo memang kamu tidak sibuk, kalo repot ya nggak usah”. Fany mencoba mencari alasan untuk bisa bersama Yasir lebih lama, kalo cuma ketemu di pasar, waktunya sangat terbatas, ditambah Yasir sedang bertugas melayani pelanggan, dia sungkan sama Pak Atmaja, kawatri mengganggu pekerjaan anak buahnya.
“Sabtu malam”, Yasir menengok ke arah kalender meja di etalase, mengecek jadwal pengiriman barang yang kadang datang malam hari. “Kosong si, ada apa ke Pulo Sari?”
“Temen-temen saya ngajak ketemuan di sana. Sekedar ngumpul, makan sambil ngomongin kuliah nanti saat masuk”. Fany meyakinkan Yasir.
“Baik, Insyaa Allah bisa”.
“Ok, nanti aku samperin kamu ya”.
“Jangan, saya yang akan menjemput kamu di rumah, selepas Magrib ya. 350 ribu pak”. Yasir menjawab sambil menyerahkan nota belanjaan ke pelanggan lainnya.
“Kamu ke rumah?”, Fany agak keberatan, dia akan direpotkan dengan interogasi dari bapaknya kalo ketahuan ada laki-laki datang malam minggu ke rumah. “Apa nggak merepotkan kamu Yes?”.
“Enggak dong. Ehmm… atau kamu minder kalo saya datang ke rumah Pak Prawira dengan motor butut?” Yasir menyelidik.
“Enggak. Enggak sama sekali, yaudah, sampai besok ya”. Fany menyanggah dan segera berpamitan karena pelanggan lain masih banyak yang berdatangan. Dia juga kawatir Yasir membatalkan rencananya karena salah sangka.
“Iya. Lepas Magrib saya ke Sukun”.
===============***============== _
ANAK BAWANG
Sabtu malam, lepas Maghrib Yasir sudah mengendari motor bebek inventaris dari Pak Atmaja menuju perumahan Dieng Indah, Sukun. Sampai gerbang rumah besar dengan taman yang tertata rapi, Yasir disambut Pak Herman, sopir yang biasa mengambil belanjaan ke pasar Mergan. DIa agak kaget ketika membuka gerbang dan mendapati Yasir yang memncet bel.
“Loh Mas Yasir, dingaren Mas?”.
“Enggih Pak, mau ketemu Fany”.
“Oh, monggo-monggo”, Pak Herman sudah tahu bahwa Ysir dan Fany satu kampus, jadi tidak banyak tanya. Pak Herman yang aseli Solo memilki aksen bicara halus dan selalu menggunakan basa kromo dalam berbicara dengan Yasir. Yasir pernah menyampaikan agar pakai bahasa biasa aja alias ngoko, tapi Pak Herman tetap saja dengan kromonya, meski dia tahu Ysir hanya pegawai di toko Atmaja, tapi sikap dan penghormatan Yasir kepada orang yang lebih tua justeru membuat dia menghormati balik.
Setelah memarkir motor, Yasir bergeas ke teras rumah besar dengan penataan taman yang rapi, bahkan ada kursi taman dan kolam mini dengan air terjun buatan mengeluarkan suara gemericik. Di teras, nampak Pak Prawira sedang membaca koran sore, meski sesekali ketemu pemilik Prawira Resto group itu, Yasir langsung mengenali.
“Assalamu’alaikum Pak Prawira”, Yasir menyapa. “Saya Yasir pak, pegawai Pak Atmaja”. Yasir melanjutkan karena melihat Pak Prawira yang nampak bimbang dengan kehadirannya.
“Oh iya ya, Yasir, Atmaja beberapa kali cerita tentang kamu, ayok duduk. Ada perlu apa nih Sir, apa ada bawang yang belum dibayar?”.
“Mboten Pak, saya mau ketemu Fany, kami satu kampus”.
“Oh ngono tah, kok Fany ra tau crito”. Memang Atamaja pernah cerita tentang salah satu pegawainya yang nyambi kuliah, tapi dia tidak menyangka kalo kenal bahkan kemungkinan dekat dengan anak gadisnya. “Kate nang ndi Sir?”. Prawira kembali bertanya, dia menebak Yasir akan menjemput Fany pergi ke suatu tempat, karena melihat anak gadisnya tadi nampak berdandan, tidak seperti biasanya.
“Fany minta diantar ke Pulo Sari, katanya mau ketemu teman-temannya, sekalian saya mohon ijin sama Bapak, untuk pergi mengantar Fany”.
Berani juga nih anak, batin Prawira. “Fany, ini ada yang nyari”, teriaknya kemudian.
Tak lama, pintu rumah terbuka dan Fany keluar dengan helm di tangan. Setelan jaket dan celana jeans dipadu kaos putih nampak pas membalut tubuh langsing itu. Tomboy tapi cantik.
“Ayo Yes, aku udah siap dari tadi”, kata Fany
Yasir buru-buru mengalihkan pandangan ke pak Prawira, seolah meminta persetujuan untuk pergi bareng Fany.
“Jangan malam-malam pulangnya” Kata Prawira kemudian.
“Enggih Pak”, Yasir bangkit menyalami pria tua yang masih nampak gagah itu.
“Fany pergi dulu pah”, Fany menyusul menyalami dan mencium punggung tangan bapaknya.
“Kamu tidak malu naik motorku Fay?”, kata Yasir Sesampai di halaman dimana terparkir motor bebek 125cc dengan kondisi cukup kumal, motor inventaris pengangkut bawang.
“Enggak Yes”, Kata Fany yang langsung duduk memboceng ketika Yasir sudah menghidupkan mesin. Sebenarnya Fany ingin menawarkan memakai motor sportnya, tapi karena yakin Yasir akan menolak, maka Fany mengurungkan niatnya. Dia tahu, Yasir justeru lebih percaya diri dengan apa yang dia punya, meski pada kenyataannya, motor bebek ini bukan miliknya, tapi inventaris.
“Motor ini nggak bisa ngebut Fay, jadi kamu tidak perlu takut terlempar”, Kata Yasir, karena begitu masuk jalan besar, Fany memeluk Yasir, yang membuat dia agak risi. Hal tersebut juga membuat debaran berbeda pada jantungnya, seolah memacu detaknya semakin cepat.
“Kamu keberatan?”, kata Fany
“Eng-enggak”.
“Biar stabil aja, habis motornya kecil bener xixixi”. Fany berkilah, “biasanya Meli juga begini kan kalo mbonceng kamu”, imbuhnya.
“Dia kan anak kecil”.
“Anak kecil? Kamu yakin? Dia anak SMA Yes bukan lagi anak TK yang gak punya ketertarikan sama lawan jenis”.
“Tapi bagiku dia tetap anak kecil yang manja”.
“Dia bukan sekedar manja, tapi sepertinya dia nyaman sama kamu dan bisa juga dia suka sama kamu bukan sekedar sebagai kakak laki-laki, tapi lebih dari itu”.
“Lebih dari itu? Maksud kamu?”
“Apa kamu yang terlalu naif, atau pura-pura?”
“Tidak, saya memang menganggap Meli tak lebih dari adek kecil yang manja”.
“Aku memang tidak tahu persis, tapi sebagai sesama wanita, aku bisa memahami sikapanya, antara manja sebagai adik atau berharap lebih dari adik, beda tipis emang, apalagi dia terbiasa manja dan dimanja. Tapi kamu tahu persis kan Yes, dia bukan adikmu, bukan adik kandungmu”.
“Kamu cemburu Fay?”
“Jangan GR”
“Saya tidak GR, saya bertanya serius. Apa kamu cemburu sama Meli karena bisa bermanja-manja sama saya?”
“Apa hak aku untuk cemburu?”
“Saya tidak nanya hak kamu, saya nanya perasaan kamu”.
Perdebatan keduanya terhenti karena sudah masuk parkiran di Pulosari. Pulosari adalah nama sebuah jalan di kota Malang, berada tidak jauh dari pusat kota. Temapat ini bisa disebut pusat kuliner di kota Malang, hanya saja, pedagang makanan yang ada biasanya buka dari sore sampai jelang tengah malam. Pada pagi sampai siang, jalan ini seperti jalan pada umumnya, tapi pada sore, akan ramai oleh anak muda yang makan sekalugus nongkrong, juga oleh masyarakat umum yang ingin memanjakan lidahnya. Aneka makanan tersedia sepanjang pinggiran kanan dan kiri Pulosari, jagung bakar, tahu petis, sop kepala kakap dan masih banyak makanan yang bisa dinikmati di sini.
Yasir dan Fany menuju warung yang menjual jagung bakar, teman Fany janjian di tempat tersebut, begitu fany menjelasakan. Warung yang dimaksud berupa tenda alias bukan bangunan permanent tapi hanya didirikan saat sore, berada nempel sisi luar trotoar jalan Pulosari. Jagung aneka rasa sedang dibakar di area depan pintu masuk warung. Aneka rasa? Ya, mereka menambahakan rasa sesuai keinginan pemesan. Tapi sebagian besar didominasi rasa keju. Aromanya wangi menggugah selera.
Saat memasuki warung ternyata hampir semua kursi penuh dan nampak beberapa mahasiswa yang Yair kenal ada di sana, termasuk Yuda, Pria setengah sipit itu nampak mencolok di antara yang lain, mungkin karena dia artis meski belum totalitas, dan masih sekedar figuran dalam dunianya.
“Fan, kamu gak takut bau bawang tuh?”, celetuk salah seorang mahasiswa yang mengenali Yasir saat mereka berdua memasuki warung. Disambut gelak tawa rekan-rekannya.
“Enggak dong”, Fany langsung menjawab sambil menyambar jemari kiri Yasir, menggenggamnya dan sekonyong-konyong mengangkat kemudian mencium punggung tangan Yasir tanpa ragu. “Enggak bau bawang malah, wangi iya”. Dia melakukan tindakan itu karena tidak mau Yasir gusar karena ejekan yang muncul.
Yasir kaget dengan ulah Fany, bulu kuduknya meremang saat fany mencium punggung tangannya. Tapi dia tidak sempat protes dan membiarkan Fany tetap menggegam jemarinya sampai memasuki warung.
Melihat reaksi Fany, si pengejek jadi blingsatan sendiri.
“Yas, Fan, sini-sini”, Yuda memanggil, menggeser dan menyiapkan 2 kursi berhadapan di dekatnya. “Ayo, duduk sini”.
Keduanya menghampiri dan duduk berhadapan, Fany masih saja menggenggam tangan Yasir.
“Mau pesen minum apa?”
“Alpukat”, serempak keduanya menjawab.
“Kalo jodoh memang gitu, seia sekata”, Yuda terkikik. “Jagung keju, betul?”.
“Ya”, lagi-lagi keduanya berbarengan menjawab tawaran Yuda.
“Emangnya kamu yang jualan Yud, apa nyambi magang jadi marketing di sini”, Yasir tersenyum, dia mencoba menguasai diri karena masih ged-degan dengan aksi Fany yang tetap menggenggam jarinya sampai saat itu.
“hahaha bisa aja kamu Sir, eh bentar ya, saya pesenin”, Yuda berlalu menuju pelayan yang sibuk dengan berbagai pesanan pelanggan.
“Udah Fan, saya nggak papa”, Yasir mengendurkan jarinya yang masih digenggam Fany dan Fany justeru terperanjat, sepertinya dia baru sadar kalo masih bergandengan tangan.
“Em-maaf, tadi spontanitas”, buru-buru Fany melepas genggamannya, nampak wajahnya memerah bak kepiting rebus.
“Nggak pa-pa. Mana temen kamu yang janjian kemari?”.
“Eng-nggak tahu”. Fany menjawab lirih, dia masih belum sempurna menguasai diri akibat tingkahnya sendiri.
“Atau sebenarnya kamu nggak janjian sama temenmu”. Yasir menebak, membuat Fany makin menunduk. Dia sebenarnya tidak bermaksud berbohong, memang benar ada temannya yang mengajak ke Pulosari malam ini tapi Fany sendiri saat itu tidak menanggapi serius, sehingga dia tidak menyimak di warung jagung mana mereka berkumpul, karena warung jagung bakar tidak hanya satu, ada lebih dari 5 penjual jagung bakar di Pulosari, apalagi week end.
“Mungkin kita salah warung, aku lupa mereka ketemuan di warung jagung bakar yang mana”, Fany sudah bisa mengatur aliran darahnya dengan baik.
Tak lama berselang Yuda kembali ke tempat duduknya. “Antri pesanannya, rame banget kalo malam Minggu emang nih”. Yuda menjelaskan.
“Yud, gimana audisinya?”, Yasir mengalihkan pembicaraan.
“Sudah, tapi belum ada pengumuman hasilnya”.
“Buat film atau sinetron Yud?”
“Kayaknya sinetron Sir”.
“Wah, bisa berlarut-larut shootingnya itu, apalagi kalo kejar tayang, bikin cape dan makan waktu loh Yud. Sebaiknya kamu pertimbangkan lagi untuk ambil job itu kalo nanti lolos audisi. Shooting bisa mulai lewat tengah malam hingga pagi, karena mereka mengambil jam sepi, biar minim gangguan dari sekitar. Itu bisa menguras energi kamu dan mengancam kesehatan pastinya, Juga kuliah bisa terbengkalia kalo kurang disiplin beristirahat”.
“Iya Yas, itu juga yang akan jadi pertimbangana nantinya. Tapi ini kesempatanku buat memulai debut main peran, dan ini hal langka, karena kebetulan memang akan mengambil setting latar di Malang dan Surabaya jadi saya tidak perlu ke ibukota”.
“Oh, yang penting kamu bisa atur waktu aja, jangan sampai kuliah terbengkalai, kalo sekedar terganggu si pasti. Atau lebih aman, kamu ambil kelas reguler sore nanati barenga saya”.
“Kamu mau pindah reguler sore? Kenapa emang kalo pagi, kan Pak Atmaja juga tidak mempermasalahkan”.
“Kemungkinan nanti saya membutuhkan fokus pada tanggung jawab pekerjaan di pagi hingga siang. Nampaknya akan memakan waktu dan akan ketinggalan jam kuliah pagi kalo tetap memaksakan ikut jam pagi. Belum pasti memang, tapi hampir 100% terjadi. Nantilah kamu juga tahu”.
“Ada tugas tambahan dari bapak?”.
“Nantilah kalo memang terealisasi, baru saya beberkan”.
“Oke. Dan sepertinya saya akan ikut kamu ambil reguler sore, lebih masuk akal. Seperti kamu bilang shooting an pemotretan juga lebih sering pada malam hari, cenderung larut malah”.
Keduanya asik saja ngobrol. Seolah mengabaikan keberadaan Fany di sana, Fany hanya sesekali memandang mereka bergantian, menjadi pendengar yang baik. Dia melihat Yasir begitu dewasa memberi nasehat kepada Yuda dan Yuda yang jelas lebih tenar tidak merasa digurui oleh yasir.
“Fan, ayo diminum jusnya”, Yuda memecah lamuna Fany. “jagung bakar masih nunggu bentar lagi. Kamu jangan heran Fan, Yasir itu penasehatku, kalo Pak Atmaja bersedia melepaskan yasir, dia mau saya jadikan manajerku hahahaha”. Yuda bercanda membuat mereka semua terbahak, sampai Fany tersedak, beruntung dia cepat menangkupkan tangan ke mulut, jadi air jus tidak sampai muncrat dari mulutnya. Yasir segera menyambar tisu dan mengangsurkan ke fany untuk membersihkan tangannya. Yasir ambil satu lembar lagi dan mengelap sisa jus yang menempel di bibir fany.
Yuda melengos menyaksikan pemandangan itu. Dia memang tidak memiliki teman dekat perempuan, meski banyak sekali perempuan cantik yang caper padanya, dia tidak pernah berkeinginan untuk lebih dekat karena dia sibuk dengan berbagai kegiatan keartisan dan juga kuliah, dia ingin fokus meniti karir.
“Kamu sama siapa kemari Yud?’, Yasir menyelidik.
“Tadi sama Vera, tapi dia pulang duluan karena ada perlu mendadak dengan keluarga, mau saya antar pulang katanya tidak usah malah milih naik taksi”.
Yasir memandang mata Yuda beberapa saat. “Vera siapa?”.
“Anak akuntansi, Fany mungkin kenal”.
“Dia artisnya kampus Akuntansi Yes, masa kamu gak tahu”, Fany menjelasakan.
“Artis, saya tahunya Yuda aja yang artis”. Jawab Yasir.
“Bukan artis beneran kaya Yuda, tapi karena paling kece sekampus Akuntansi, jadi tenar bak artis, gitu” Fany melanjutkan.
“Yasir si tipe setia Fan, gak akan berpaling deh, bahkan sekedar kenal aja sekalipun dia tidak akan tertarik. Kalo dia sudah punya pilihan, maka akan dia jaga dengan penuh kesetian dan kejujuran, iya kana Sir?”. Yuda menambahakan. ” Enggak Yud, Vera hanya teman. Dia juga tahu saya kok”, Yuda menjelaskan karena Yasir masih menatapnya, seolah tahu sorot penasaran terpancar dari mata Yasir.
“Emang mau milih yang kaya apa Yud”, Fany menimpali.
“Tadinya mau milih yang kaya kamu Fan, tapi nggak ada. Cuma atu-atunya dan sepertinya udah ada yang punya”, seloroh Yuda sambil terkekeh membuat Fany salah tingkah. Yasir diam tanpa ekspresi.
Obrolan mereka masih berlanjut tentang kuliah, keartisan Yuda dan rencana masa depan yang sebenarnya masih abu-abu juga diselingi candaan hingga jagung bakar dan minuman habis hingga nambah roti bakar dan air minerla. Tidak terasa sudah hampir 2 jam mereka ngobrol. Selanjutnya Yuda pamit untuk pulang tapi Yasir dan fany pun akhirnya ikut bangkit. Saat Yasir hendak membayar, Yuda menahannya. “Sudah saya bayar Sir, tenang uang pemotretan sudah cair jadi tidak memakai uang ortu saya lagi kalo jajan”. Kilahnya.
Selanjutnya mereka keluar warung menuju parkir kendaraan, Yuda menuju parkir mobil, dia mengendarai Honda Jazz merah marun. Sedang Yasir dan Fany ke parkir motor. Keduanya hanya diam bahkan saat di atas motor hingga mendekati perumahan Greenlan, rumah Fany.
“Kamu tidak penasaran lagi dengan jawaban aku Yes?” Fany memecah kebisuan jelang gerbang rumahnya.
“Jawaban apa?”
“Yang tadi pas berangkat, tentang kecemburuan dan Meli”.
“Saya sudah tahu jawabannya, dan…” Yasir berhenti karena sedang menunggu Pak Herman membuka gerbang rumah besar nan megah itu.
Masuk pekarangan, selanjutnya Yasir memarkirkan motor inventarisnya.
“Dan apa Yes?”, Fany masih penasaran saat turun dari boncengan.
“Saya takut Fay”
“Takut kenapa? Keluargaku tidak pernah memberi batasan status sesorang”.
“Saya tahu, tapi bukan itu yang membuat saya takut . Saya takut akan ada yang tersakiti nantinya. Entahlah Fay, saya ingin menolak rasa ini, tapi saya juga tidak bisa bohong pada nuraniku. Saya hanya mencoba realistis Fay, saya ingin fokus dengan tujuan utama saya di kota ini dan tidak mau terganggu oleh hal lain. Karenanya saya kadang mencoba menekan rasa yang muncul saat ingat kamu”, Yasir memandang sekilas ke arah mata Fany dan kemudian membuang pandangan menerawang ke langit, seolah mencari jawaban akan ketakutan yang menerpa dadanya. Ketakutan yang belum punya alasan jelas. Yasir sadar diri, siapa dia dan siapa Fany. Meski tidak ada kata gentar dalam kamusnya, tapi bersiap pait lebih mudah saat kedepannya pait yang didapat, kalo dia menyipakan rasa manis dari sekaranhg, akan terasa sangat pait kalo akhirnya pait yang dia dapat.
“Jalanin aja Yes, biar waktu yang menjawab”. Fany menjawab dengan muka sendu. “Aku hanya ingin kamu tahu, aku merasa nyaman saat dekat denganmu”. Lanjutnya sambil melangkah menuju rumah. Pak Prawira menunggu di sana.
Prawira cukup mengkhawatirkan anak gadisnya, maklum, baru pernah sekali ini Fany pergi berdua laki-laki. Padahal dia tahu, Fany tidak mudah ditundulan oleh lelaki manapun, meski gagah dan kaya sekalipun. Sejak dia SMA, tidak ada yang bisa, kalo ada yang nekad mendekatinya, atau datang ke rumahnya, tidak sekalipun dia menanggapi.
Yasir, mengekor Fany lalu mendahuluinya dan mengucap salam ke Pak Prawira, sekalian pamit karena sudah malam. “Fay, saya pulang dulu”. Lanjutnya
“Iya, ati-ati. Jangan ngebut”.
“Emang kamu kalo naik motor kaya Valentino Rossi. Motorku kan butut mana bisa ngebut, yang ada protol rodanya”, jawab Yasir sambil tertawa.
“Sir salam buat Pak Atmaja ya”, sela Prawira sebelum Yasir turun dari teras rumah. Dia bisa membaca perbedaan yang terpancar dari anak muda tersebut. Perbedaan yang membuat anak gadisnya bisa berubah drastis, bisa memiliki teman laki-laki yang diijinkan ke rumah merupakan kemajuan yang tidak diduga.
“Enggih pak”, Jawab Yasir menyalami dan mncium punggung lelaki gagah berwibawa itu, selanjutnya undur diri menuju motornya dan berlalu keluar pagar.
“Anaku jebul normal, ta kiro ra demen lanangan. Pantes ngotot mau belanja ke Mergan najan tangi mruput”, kata Prawira menggoda Fany yang masih menatap kepergian Yasir, meski sudah tidak nampak lagi.
“Apaan si Papa”, nampak jelas perubahan roman muka Fany mendengar olokan bapaknya.
“Wis kono, wis wengi”, lanjut Prawira menyuruh anakanya masuk rumah.
===============***==============
Absen lik 😁
SukaDisukai oleh 1 orang
wacane kapan kapan ya, nek kober, anu dawa kaya ikatan cinta mas al dan andien hahahaha
SukaSuka