Komprang 1/4 liter, Dieng Plateau dan Semutan


Komprang 1/4 liter, Dieng. Apa hubungannya? Kalo Dieng sendiri, apa yang terbayang oleh pembaca?

Awal Agustus lalu, saya mengunjungi area wisata Dataran Tinggi Dieng atau Dieng Plateau menggunakan roda dua alias sepeda motor, si Komprang 1/4 liter, Ninja 250 fi. Ya, komprang 1/4 liter yang saya maksud adalah sepeda motor yang saya kendarai, nama atau sebutan yang saya berikan bagi si Ninfi old ini. Mengapa namanya Komprang? Cek postingan saya di 7 tahun Brigstone BT S-20 dikenakan Komprang

Rencana awal adalah mudik ke kampung halaman guna mengikuti sedekahan 40hari simbok.

Dari rumah Karawang berangkat lepas Shalat Jumat, sekira jam 13.30. Menapaki aspal jalan Syeh Quro, jalur alternatif Karawang – Cikampek sampai keluar di jalan Pantura mendekati Subang.

Ini adalah kali ke-3 saya mudik mengendarai si Komprang, pertama pada Oktober 2022, kedua pada bulan April bertepatan pekan lebaran idul Fitri.

Mudik dengan sepeda motor, biasanya saya berhenti istirahat setelah perjalanan 2 jam, tapi kali ini saya agak memaksakan diri, baru istirahat setelah menempuh perjalanan hampir 3,5jam. Jadi biasanya istirahat di wilayah Cirebon, kali ini saya masuk Kabupaten Brebes (jalur Brebes – Purwokerto) baru istirahat.

Bakso Malang rasa Brebes

Tidak jauh dari belokan Pantura masuk jalur Alternatif Purwokerto nampak warung Bakso – Mi Ayam dengan embel-embel Malang. Saya yang pernah nguli di Malang langsung terbayang segar dan nikmat. Apa lacur, ternyata rasa jauh dari ekspektasi. Sekira 30 menit istirahat, setelah teguk terakhir es teh manis, saya kenakan riding suit dan kembali menapaki aspal Brebes.

Jelang Azan Maghrib berkumandang, saya masuk jalan Songgom bertepatan si Komprang yang haus minta refill tangki BBM dan juga tekanan ban yang sepertinya menyusut.

Mampir SPBU pertama hanya isi bensin, karena kios nitrogen sudah tutup, info penjaga pom ada SPBU lagi tidak jauh, kemungkinan kios nitrogen masih buka.

Toilet dan Mushola berdampingan terpisah dinding

Benar juga, di SPBU kedua ini saya tambah angin ban sekalian Sholat Maghrib dan Isya, jamak. SPBU dengan kode 44.522.28 ini cukup resik dan rapi. Mushola dan toilet bersih. Lebih nyaman buat istirahat sejenak dengan pemandangan hilir mudik kendaraan serta penjaja bawang merah, hasil bumi khas Brebes

SPBU 44.522.28 Songgom Brebes
Brambang alias bawang merah khas Brebes selain telor asin

Tidak berlama-lama (karena sebelumnya sudah istirahat di warung bakso) selesai menunaikan kewajiban, saya melanjutkan perjalanan ke timur. Hari mulai gelap, kaca helm AGV K1 Flavum yang rayban kurang cocok untuk pandangan malam hari, apalagi mata tua macam saya. Meski demikian saya bertahan tidak membukanya kecuali pada spot-spot jalan tertentu yang memang gelap banget. Debu jalanan dan udara yang menerpa muka sangat mengganggu apabila kaca helm dibuka. Maklum musim kemarau masih melanda sebagian besar Jawa.

Menara Teratai Purwokerto

Mendekati jam 8 malam saya sampai di kota Purwokerto. Iseng masuk kota dan berhenti sejenak memotret menara pantau atau menara Teratai yang merupakan icon baru Banyumas ini. Cukup ramai, mungkin akhir pekan, banyak sepeda motor parkir di jalan Sukarno, Jalan baru akses menara. Jalan 2 jalur yang luas dan mulus. Jika dihitung waktu tempuh perjalanan dari SPBU Songgom berarti kisaran 1,5jam. Setelah mengabadikan beberapa perubahan warna lampu menara Teratai, saya melanjutkan perjalanan menuju kota Banyumas. Berhenti sekali lagi di sekitar karesidenan, membeli beberapa oleh-oleh dan kebutuhan pribadi. Suasana asri, suara serangga malam, cuaca yang dingin dan keceriaan keluarga serta saudara menyambut. Besok malam jadwal acara sedekahannya. Sabtu, malam Minggu.

Salju upas. Inilah yang mentrigger saya untuk ke Dieng, sahabat di grup chatt whatsapp yang menyarankan. Katanya, tanggung sudah di Banyumas, sekalian ke timur lihat upas. Info google, salju upas adalah embun pagi yang berubah menjadi es karena suhu udara yang rendah. Embun yang menempel di dedaunan khususnya rumput, nampak seperti salju karena membeku. Ini terjadi di Dieng selama musim kemarau. Karena hal inilah saya tergerak ingin menyaksikan.

Minggu pagi buta, rencana awal saya ingin berangkat ke Dieng jam 3 pagi. Ternyata saya bangun jelang jam 4, kemungkinan karena tidur terlalu larut, alarm tidak terdengar. Rencana berangkat dimundurin, estimasi perjalanan 2 jam, perkiraan masih kebagian upas sebelum mencair terpapar sinar matahari. Saya browsing lagi mengenai upas ini, berdasar info google yang saya dapat, salju upas tidak terjadi setiap pagi dan juga tidak di semua area wisata Dieng, jadi bisa dibilang untung-untungan. Saya jadi ragu. Beberapa hal jadi pertimbangan

  • Jam 4 sudah jelang Subuh, berarti saya harus berhenti paling tidak 30 menit untuk menunaikan sholat di perjalanan
  • Saya kurang mengenal jalur yang akan dilalui, cukup repot menentukan tempat istirahat /sholat
  • Kaca /visor helm agv k1 flavum yang gelap, kurang cocok untuk pandangan malam
  • Salju upas tidak terjadi setiap saat dan tidak di semua area wisata, kawatir sudah memaksakan berangkat pagi, ternyata zonk.

Akhirnya saya memilih Subuh di rumah dan sekira jam 5:15 saya mulai menuruni aspal perbukitan Selatan Banyumas, adem dan kabut yang cukup tebal semakin menghalangi pandang, sesekali buka visor.

Tiba di jalan lintas Banyumas – Banjarnegara juga masih gelap. Udara dingin memperparah kondisi cengkeraman tangan yang mulai kesemutan kurang dari 20 menit perjalanan, untuk mengatasi kebas saya pukul-pukulkan ujung jari ke tangki si Komprang.

Ya, semutan atau kebas pada telapak dan jari tangan kerap menghinggapi saya sehingga membuat kendali sepeda motor kurang nyaman. Biasanya tidak sesering saat perjalanan ini, entah mengapa pagi itu, begitu mudah semutan, dugaan sementara karena udara dingin yang menerpa.

Masuk kota Banjarnegara, mampir pom bensin guna buang hajat. Ya, udara dingin sepertinya juga aktif membangkitkan ‘pembuangan air’ dalam pencernaan. Sekira 30 menit di pom bensin ini.

Dari Banjarnegara menuju Wonosobo mulai terasa keriangan alam menyambut semburat merah di ufuk timur, pertanda hari baru sudah dimulai. Puncak gunung di keheningan pagi begitu mempesona disiram rona fajar yang menyingkap gulita.

Komprang terus melaju dengan kecepatan sedang. Kebas yang melanda, mengharuskan kendali setang extra waspada, lepas sejenak mengibaskan ‘semut’ yang kerap hadir mengerubungi jari-jari tangan.

Sekira jam 7 saya mulai memasuki kawasan dataran tinggi Dieng. Sesekali berhenti demi mengabadikan pesona alam yang sejuk. Sudah siang memang, andaikan lebih pagi, jelas pesonanya lebih meraja. Tak perlu sesal, karena di luar sana, masih banyak yang hanya sekedar berangan-angan, berandai-andai, bilamana ada waktu.

Karena waktu adalah segalanya, karena segalanya butuh waktu. Waktu luang sebelum sempit, waktu sehat sebelum sakit, waktu kaya sebelum fakir. Dan sungguh demi waktu, saya masih makhluk yang merugi. Merasa merugi bahkan dalam hal menikmati panorama alam persembahan Ilahi.

Maka bersyukurlah yang bisa menikmati dan mensyukuri karya Sanga Maha Karya ini, karya Sang Maha Pencipta, karya Sang Maha Digdaya.

Lihatlah birunya langit itu, megahnya gunung sang pasak bumi, yang tanpanya bumi akan bergoncang. Cerahnya matahari pagi yang menaburkan energi ke seluruh semesta, menguatkan tulang bernyawa, memendarkan segarnya udara si hijau daun, memanggil kepak sayap yang bercericit. Maka adakah nikmat yang saya dustakan?

Setelah menanjak, menikmati liukan jalanan, saya sampai di kawasan wisata Dieng, ambil gambar di dua spot beda Kabupaten. Wonosobo dan Banjarnegara. Yah, kawasan wisata Dataran Tinggi Dieng memang terbagi 2 wilayah Kabupaten. Ini adalah kali ketiga saya berkunjung. Pertama tahun 1999 dengan kawan STM, kedua tahun 2005 atau 2006 dengan isteri saya. Bisa dibilang inilah Dieng masa modern, karena pada dua kunjungan awal, suasananya sangat berbeda. Minim bangunan, jalanan bahkan kerap terendam air hujan yang meluap dari kebun. Yang pasti dulu lebih alami dan tidak seramai saat ini.

Sekarang banyak penginapan, rumah makan, mini market dan aneka jualan lain. Bahkan tersedia kendaraan roda 4 khas adventure yang disewakan seperti di Bromo Tengger, Jawa Timur. Nampak turis mancanegara berseliweran di atas mobil multi penggerak itu.

Berdasar arahan kawan di WA grup, saya mampir pintu masuk kawasan Candi Arjuna untuk mengisi perut. Sajian khas yang cukup di kenal. Mi ongklok dan Purwaceng. Tulisan sudah saya posting sebelumnya, silahkan cek di Menara Teratai, Dlongop dan Purwaceng

Sekira jam 9:05 saya meninggalkan kedai mi ongklok, melewati Dieng wilayah Banjarnegara, berbelok ke arah kawah Candradimuka dengan panorama yang masyaallah indahnya. Kawan saya bilang, saya kurang pagi datang ke sini, kalo pagi saat fajar menyingsing, pasti bias cahaya pertama yang menyinari pertiwi akan menambah kemegahan alam ini. Tapi sekali lagi saya tetap bersyukur bisa menatap karya istimewa Sang Maha Indah.

Ini adalah pertama kali saya melintasi jalur Candradimuka, karena pada dua kunjungan sebelumnya, saya selalu ambil jalur turun lewat Batur – Karang kobar, Banjarnegara. Karena dulu pulang kembali ke Banyumas, tapi kali ini saya akan langsung pulang ke Karawang lewat Pantura.

Jalur Candradimuka penuh pesona, beberapa kali saya berhenti untuk mengambil gambar. Saya sempat berhenti di atas kawah, tapi urung mampir karena nampak kurang menarik. Jalurnya juga kecil, akan repot kalo bawa kendaraan roda 4, apalagi papasan, harus extra hati-hati dan waspada. Kalo terguling ke sisi timur, jurang siap melahap. Tapi pemandangan indah seolah tidak ada habisnya.

Jalur selanjutnya kembali meliuk, menanjak, menurun, hingga Krakalan. Tanjakan/turunan yang cukup viral di sosial media karena cukup extrim. Apalagi beberapa spot jalan rusak parah, mengharuskan menambah kewaspadaan extra tiap penggunanya.

Papan peringatan, anjuran menggunakan gigi rendah saat menurun guna membantu pengereman, agar kinerja rem tidak terlalu berat yang bisa mengakibatkan panas dan blong. Apalagi pengguna sepeda motor transmisi otomatis atau skutik. Wajib gunakan rem depan dan belakang secara bergantian.

Setelah melewati aneka rupa jalanan, menurun, keluar masuk hutan di Krakalan, Bawang Kabupaten Batang akhirnya saya sampai di jalanan landai dengan udara yang menghangat, Batang Kota menuju Pekalongan. Mengikuti papan petunjuk arah menuju Pantura Jawa. Perjalanan selanjutnya kurang menarik untuk diceritakan. Pun tidak ada hal yang ingin saya abadikan, sehingga saya terus melaju di Pantura Pekalongan menuju Kabupaten Pemalang. Masuk gerbang selamat datang Pemalang, disambut jalanan yang sedang diperbaiki. Dicor sebagian, atau persebagian jalur, sehingga arus lalu lintas menjadi contra flow dan agak krodit. Sekira jam 11:20 saya berhenti istirahat di minimarket Pemalang, menikmati mi instan, menunggu waktu Duhur, menuju masjid di seberang jalan dengan jamaah yang sangat minim. Hanya bertiga termasuk imam. Sekalian saya jamak Ashar, agar perjalanan nanti lebih tenang.

Saat matahari mulai tergelincir, sekira jam 12:20 saya melanjutkan perjalanan ke barat, menuju Kabupaten Tegal, lanjut Brebes. Di sekitaran jalur masuk alternatif Brebes – Purwokerto saya berhenti sesaat untuk membeli jajanan khas Brebes, telor asin.

Terus ke barat, isi BBM di Cirebon juga angin ban si komprang. Maghrib saya sampai di Karawang.

Bagaimana dengan kondisi semutan di tangan? Perjalanan yang panjang, dengan tempo istirahat yang cukup lama, mulai dari berangkat ditambah sepeda motor model sport touring, mengharuskan posisi badan agak nunduk, dimana beban kendali banyak tertumpu di setang disinyalir jadi penyebab telapak dan jari tangan kesemutan. Anehnya, sampai sekarang semutan masih kerap muncul sehingga dugaan itu mulai terbantahkan, ada indikasi dari sebab lain.

Meski demikian, saya masih melakukan touring trip pendek sekitaran Karawang. Curug Cigentis, Puncak Sempur, Parang Gombong Jatiluhur Purwakarta, Green Canyon Karawang Bogor dan Cirata Bandung Selatan.

Kapan pembaca touring lagi? (tri)

4 respons untuk ‘Komprang 1/4 liter, Dieng Plateau dan Semutan

Tinggalkan komentar