Trust


MULAI

Seperti biasa sepulang kuliah yasir langsung mampir pasar dan menuju gudang guna merapikan barang stok yang tersedia. Saat sedang mengatur tumpukan karung bawang, terdengar teriakan dari depan, suar Pak Atmaja.

“Sir, ada yang nyari”.

“Iya Pak, tunggu sebentar”, jawab Yasir masih melanjutkan perapihan barang beberapa saat hingga terikan Pak Atmaja kembali terdengar dari depan.

“Sir ini Fany yang nungguin”

Yasir agak kaget, ngapain tuh bocah hari gini ke pasar, Pak Atmaja tidak bilang kalo Pak Prawira pesan tambahan bawang lagi, monolgnya dalam hati sambil terus melanjutkan penataan tumpukan karung-karung itu.

Di depan, Fany yang duduk di depan Pak Atmaja sebenarnya agak jengkel karena Yasit tak kunjung keluar.

“Samperin aja ke belakang kalo Nak Fany mau”, sekonyong-konyong suara Pak Atmaja membuyarkan lamunannya. Sebenarnya Pak Atmaja juga paham mengapa Yasir tidak segera memnuhi panggilannya, hal tersebut karena tidak berkaitan dnegan tugas dan tanggung jawabnya di toko ini. Anak itu memang cukup memegang prinsip dan merasa bersalah jika melanggar, meski Pak Atmaja sebenarnya tidak keberatan jika Yasir seskali bergaul dengan teman sebayanya dan bersosialisasi layaknya mahasiswa pada umumnya.

“Oh, Baik Om”, jawab Fany sambil nyelonong ke arah gudang dan mendapati yasir masih asik merapikan barang ditemani Muri yang menghitung stok.

“Ih, sombong bener”, celetuk Fany saat mendapati sosok Yasir di gudang dengan penerangan yang cukup memadai. Terlihat yasir masih mengenakan baju yang tadi pagi dipakai kuliah, keringat memenuhi dahi dan leher pria itu. Wajahnya yang memiliki karakter tegas makin menampakan ketegasan karena gaya hidup yang tidak main-main.

“Hai, Fay, maaf ya, lagi nanggung, dikit lagi selesai kok. Emang restoran ada pesanan Catering dadakan lagi, mau ambil bawang tambahan?”, kata yasir menebak. ‘Kok bapak dari tadi ga bilang ke saya”.

“Enggak ada”, jawab fany cepat.

“Terus, Kamu nagapain kemari?”, Yasir kembali bertanya dengan nada datar.

“Eh, enggak papa, emang ga boleh ya, maaf kalo ganggu”, Fany agak kikuk. “Kalo gitu aku pulang aja deh”, lanjut Fany sambil berbalik badan hendak.

“Sir, istirahat aja dulu”, Muri yang melihat kekakuan itu menyela dengan maksud agar Yasir menemani Fany ngobrol, Muri kenal baik keluarga Prawira, mereka merupakan kawan dekat Pak Atmaja dan merupakan pelanggan dengan jumlah permintaan barang yang tinggi alias pelanggan potensial dengan pembayaran cash tidak pernah membayar dengan tenggang waktu. “Mbak Fany, tinggal dulu ya, Kalo yasir nakal, laporin aja ke pak Atmaja”, sambung Muri berseloroh memecah sikap kikuk Fany.

“Iya Mas, silahkan”, jawab Fany agak tersipu. Diam sesaat dan berpaling ke arah yasir yang sedang memperhatikan tingkah anak gadis pemilik resto Prawira Group. Keduanya bertemu pandang. “kamu ga suka aku kemari ya?”, tanya Fany memecah kesunyian.

“Bukan Fay, tapi kamu sudah tahu kan siapa saya, posisi saya di toko Pak Atmaja ini”, Jawab Yasir datar. “Saya justeru senang, siapa yang tidak bahagia didatengin gadis cantik macam kamu, apalagi lelaki kuli seperti saya, seperti kejatuhan bulan he,,,he,,he,,”, Yasir melanjutkan dengan tertawa dengan maksud mencairkan susasana.

“Jadi kamu minder karena kuli gitu?”, Fany menyambar dengan nada kesal

“Siapa yang minder Fay, saya tidak rendah diri, tapi saya harus tahu diri kan”, Yasir menjawab cepat, tidak menyangka denga nada bicara fany yang jelas sekali merasa sebal dengan ucapan dia sebelumnya. “Saya memang kuli Fay, tapi saya tidak pernah minder atau merasa rendah diri, dan sekali lagi saya tekankan, saya bahagia kamu datang kemari, tolong jangan salah paham dan tolong mengerti posisi saya di sini adalah pekerja, saya terikat dengan Pak Atmaja yang sudah memberikan kebebasan kepada saya untuk bekerja seluang waktu saya”, Yasir menghela nafas dalam, kemudaian melanjutkan, “kamu tahu Fay, disini bukan Pak Atmaja dan Mas Muri yang mengatur jam kerja saya, tapi saya sendiri, mereka menyerahkan sepenuhnya kepada saya untuk bekerja kapanpun menyesuaikan jam kuliah dan kalo dihitung, gajiku tidak akan cukup untuk membiayai kuliah di Unmar, tapi kau tahu, bukan saja biaya kuliahku tercukupi, biaya kos, makan, buku bahkan saya masih diberi uang saku sama Pak Atmaja. Saya tidak bisa begitu saja mengabaikan itu semua dan berpura-pura buta”. Yasir menjelas kan panjang lebar.

“Maaf saya tidak memahami itu”, jawab Fany lirih merasa bersalah.

“Nggak papa Fay, sebenarnya saya juga tahu, Bapak tidak melarang saya bergaul, juga tidak melarang kawan saya datang menjenguk seperti yang kamu lakukan saat ini, tapi saya yang memberi batasan kepada diri saya sendiri agar saya tidak kebablasan dengan kelonggaran yang diberikan Bapak, sedekat apapun saya dengan Pak Atmaja, beliau tetap majikan saya, meski pada kenyataannya beliau sudah menganggap saya lebih dari itu dengan memberikan berbagai bantuan yang tidak akan mampu saya balas”. Yasir masih menambah penjelasan agar gadis cantik di depannya tidak salah paham. “Oh iya. maaf tadi pagi saya tidak ke taman, sudah kesiangan jadi langsung ke kelas. kamu nyariin ya? Atau kamu kangen karena tadi pagi nggak ketemu saya dan sekarang kamu datang kesini gituh?”, Yasir masih melanjutkan ucapannya dengan senyuman menggoda Fany.

“Ih. Apaan, siapa yang kangen. Jangan geer Yes”, Fany menyaggah cepat meski pipi putihnya sempat memerah, karena pada kenyataannya memang Fany merasa kehilangan saat tadi pagi tidak menjumpai Yasir di taman, pun saat istirahat dia mencoba kembali ke taman berharap Yasir ada di situ. Tapi pemuda itu tidak nampak batang hidungnya.

“Ya, nggak papa kalo kangen juga Fay, saya nggak bisa melarang kan”, Yasir masih menggoda sambil terkekeh dan berkelit karena Fany melempar satu siung bawang putih yang tercecer di lantai gudang ke arahnya. “Wekk..enggak kena”.

“Awas ya”, Jawab Fany.

Akhirnya suasana mencair dan obrolan berlanjut seputar kuliah dan rekan-rekan mereka di kampus. Termasuk Yuda yang kabarnya masuk agen artis dan mengikuti audisi sebuah film, meski masih sekedar pemeran pembantu.

“Udah dulu ya Yes, aku mau pulang. Dan jangan lupa belajar Yes, bentar lagi UAS kenaikan tingakat loh”, Fany mengahiri kunjungan siang jelang sore hari itu.

“Makasih Fay, ati-ati jangan ngebut-ngebut, salam buat Eyang kalo berkunjung ke rumahnya ya” Jawab Yasir sambil mengantar fany ke depan setelah pamit kepada Pak Atmaja.

“Oh iya, kapan-kapan ikut aku aja ke rumah Eyang, dia pengin ngucapin makasih secara langsung katanya”, Fany jadi teringat pesan Eyang agar dipertemukan dengan Yasir yang sudah bersedia bertukar temapat duduk di kereta tempo dulu. “Terserah kamu kapan bisanya, kabarin aja pas luang”, Fany menambahkan karena sudah menyadari, Yasir yang memiliki prinsip hidup mengabdi pada Pak Atmaja, meski Pak Atmaja tidak akan melarangnya jika Fany ngomong langsung untuk mengajak anak buahnya main. Karena Fany adalah anak seorang Prawira, nama yang cukup diperhitungkan di kalangan pedagang bahkan pejabat dan aparat sekalipun, karena kakaknya merupakan perwira TNI yang memiliki kedudukan cukup strategis dan dikenal orang banyak.

“Baik Fay, nanti saya pasti ke rumah Eyang, tunggu tanggal mainnya”, Jawab Yasir mantap

Fany menaiki sepeda motornya dan memakai helm, kemudian mengangguk dan menghidupkan mesin sepeda motor, selanjutnya sepeda motor sport 250cc itu mengaum meninggalkan Yasir di parkiran toko Pak Atmaja.

Pak Atmaja menyaksikan pemandangan itu dengan agak tergugu. “Sir jo lali sinau, jarene delungkas UAS”, ucapnya kemudian saat Yasir kembali masuk ke toko hendak ke gudang, “sisane ben si Toto sing mberesi”, lanjutnya, pak Atmaja memang sudah menganggap Yasir seperti anakanya sendiri. Loyalitasnya dalam bekerja hampir setahun mengabdi padanya dengan beberapa tes kejujuran saat mengantar barang yang melibatkan uang tidak sedikit, membuat Pak Atmaja semakin yakin, anak ini bisa dipercaya. Ditambah anak kesayangannya, Meli, terlihat nyaman saat mengerjakan PR bersamanya. Sehingga anaknya itu tidak merasa kesepian saat stuck menghadapi tugas dari sekolah.

“Enggih pak”, jawab Yasir kemudian sambil berlalu menuju gudang membereskan pekerjaan yang tertunda, nampak Wari di sana sedang menghituk stok barang yang tersedia.

“Sir, Bapak setuju sewa gudang katanya, tapi kayaknya cuma buat penyimpanan saja, karena kalo sambil jualan juga, belum ada tenaga yang memegang, beliau belum bisa melepas saya, kawatir di sini malah terbengkalai kalo dia ga ada yang menggantikan saat sedang tidak bisa ke toko”, Wari memberi kabar, ternyata ide Yasir benar disampaikan kepada Pak Atmaja. “Keputusan selanjutnya kayaknya nunggu kamu nanti selesai UAS, beliau mau membicarakan dulu dengan Mas Sanjaya”, lanjutnya.

“OH bagus itu mas, jadi kita tidak perlu kawatir kehabisan barang jika penyimpanan lebih banyak, di mana rencana sewa gudangnya Mas?”, Yasir merasa gembira karena idenya diterima.

“Kalo sekedar gudang cukup nyari di sekitar sini aja, di pasar juga pasti ada bedak yang nganggur, sekedar menambah simpanan 3 ton, tidak perlu yang besar, jadi biaya sewa juga kecil. Kalo sewa di pasar kasin, sayang kalo cuma buat gudang, beliau maunya sekalian jualan kalo di sana, tapi kan belum ada yang pegang, emang kamu mau kerepotan kuliahnya”, Wari menjelaskan lagi.

“Apa hubungannya dengan kuliah saya mas? Kan selama ini saya masih bisa bekerja sambil kuliah”, Yasir agak bingung.

“Maunya Bapak, kamu yang pegang di tempat baru nantinya, tapi karena pertimbangan kamu sedang kuliah, beliau mengurungkan, kawatir malah tidak efektif, nanti kamu pasti akan mengabaikan kuliah dan memilih jualan, begitu kata beliau, tapi beliau mau membicarakan dengan mas Sanjaya, minta pendapat, jadi belum ambil keputusan apapun dalam waktu dekat”, Wari melanjutkan penjelasannya. “Pokoknya, kamu harus selesaikan kuliah Sir, biar nanti bisa jadi pengusaha sukses, bahkan melebih Bapak, jangan lupakan saya nanti ya he..hehe”, Wari menambahkan nasehat sambil tertawa, agar Yasir tidak merasa terbebani.

“Padahal saya kan bukan siapa-siapa Mas, kok Bapak punya pikiran begitu, apa tidak kawatir saya menyelewengkan uang nantinya”, Yasir ternyata masih kepikiran dengan niatan Pak Atmaja membuka cabang dan dia yang pegang.

“Loh, emang saya siapanya Bapak Sir? Bukan siapa-siapa juga. Saya juga heran dulu saat beliau memberikan kepercayaan lebih kepada saya, tapi berjalannya waktu, saya mencoba berpikir positif dan memegang teguh kepercayaan itu, beliau sudah memberikan begitu banyak manfaat kepada saya dan keluarga”, Wari menyanggah dengan pernyataan yang sama. Memang Wari dulunya juga sekedar pembantu biasa di toko Pak Atmaja, tapi karena ketekunan dan kejujuran dalam bekerja serta kemampuan belajar dalam berdagang, membuat pak Atmaja menaruh simpati lebih dan memberikan kepercayaan kepadanya untuk menggantikan saat Pak Atmaja tidak bisa datang ke pasar. Semua transaksi dan keputusan diserahkan sepenuhnya kepada Wari. “Tapi tidak usah kamu pikirkan sekarang Sir, fokus UAS saja dulu, lebih giat lagi belajar, Bapak juga sudah berpesn ke sya untuk memberimu waktu lebih biar punya kesempatan membaca lebih lama, pekerjaan di sini biar Toto yang tangani, kalo sekedar beres-beres si dia sudah jago”.

“Baik Mas”. Yasir tak lagi membantah. Dia beranjak mengambil tasnya dan pulang setelah dirasa semua beres.

===============***==============

2 BUNGA

Hari-hari berikutnya Yasir lebih fokus dengan mata kuliah, Ujian Akhir Semester semakin dekat. 7 mata kuliah dengan total 20 SKS harus bisa ia kuasai, meski tidak maksimal. Mata kuliah umum berupa pendidikan pancasila memang tidak terlalu mengkhawatrikan, tapi 6 mata kuliah yang lain yaitu, Statistik Ekonomi dan Bisnis II, Pengantar Ilmu Ekonomi II, Pengantar Manajemen, Aplikasi Komputer , Pengantar Akuntansi Lanjutan dan Bahasa Inggris Bisnis jelas perlu perhatian lebih, khususnya Aplikasi Komputer, Yasir membutuhkan laptop agar lebih paham. Mata kuliah ini akan memberi dasar atau pondasi bagi para mahasiswa tentang konsep bekerja dengan menggunakan komputer yang erat kaitannya dengan hardware dan software serta aplikasinya dalam berbagai aspek disiplin ilmu guna mempermudah suatu pekerjaan. Komputer adalah hasil industri yang memanfaatkan berbagai hasil penelitian dan pengujian dari beberapa bidang keilmuan. Beberapa materi yang dipelajari pada mata kuliah ini yaitu pengenalan komputer, Operating System pada komputer, Microsoft Office Word, Microsoft Office Power Point, Microsoft Office Excel, perangkat lunak desain grafis corel draw dan instalasi laptop.

Sudah beberapa hari, sepulang dari pasar di mana biasanya bersiap untuk berangkat ke kampus, kini dia bertandang ke rumah bosnya di Perumahan Panorama, meminjam laptop Meli untuk belajar berbagai aplikasi office mulai dari word, excell, power paint dan sebagainya. Karenanya dia sudah lama tidak menikmati nasi bungkus di taman kampus. Yasir juga diijinkan memakai motor inventaris yang biasa dia pakai mengantar barang dagangan untuk mobilitas kuliah. Kata Pak Atmaja, biar memiliki cukup waktu dan tidak terburu-buru setelah belajar komputer di pagi hari bisa langsung ke kampus. Tapi saat pulang Yasir tetap mampir ke pasar membantu perapihan dan pengantaran barang, karena beberapa pesanan kadang baru bisa dilayani saat pelanggan yang datang langsung ke pasar sudah terlayani semua.

Siang itu Yasir yang baru sampai pasar disambut pak Atmaja, “Sir ditunggu Meli, katanya ada PR minta diajari, dia di belakang tuh nungguin dari tadi”.

“Enggih Pak”, Yasir menyahut cepat dan segera ke belakang, dari kalimat Pak Atmaja dia paham, kekawatiran akan anak kesayangannya, yang kalo ngambek bukan hanya merepotkan, tapi bisa membuat Meli demam.

Sampai gudang, Yasir melihat Meli sedang duduk menghadap meja kecil dengan buku dan penerangan lampu meja portable, “PR apa dek?”, Yasir langsung menyapa dengan pertanyaan.

“IPS Mas, tentang lingkungan masyarakat”.

“Ada buku bacaannya kan Dek?”

“Ada, tapi Meli tidak menemukan jawaban dari soal ini”.

“Masa si, coba baca lagi”.

“Sudah 2 x baca Mas, ga ketemu”. Fany mulai berubah nada bicaranya menjadi sedikit ketus.

“Ini Apa, Ascribed status
Yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniyah dan kemampuan. Kedudukan ini secara otomatis diperoleh karena keturunannya. Status ini pula ddiperoleh dengan sendirinya tanpa melakukan perjuangan dan bersifat alamiah dalam kehidupan masyarakat.
Achieved status
Yaitu kedudukan yang diperoleh seseorang dengan melalui perjuangan dan pengorbanan. Status ini diperoleh bukan sejak lahir, tetapi terbuka secara umum bagi siapa saja yang dapat mencapainya.
Assigned status
Yaitu kedudukan yang diberikan oleh suatu kelompok kepada seseorang karena jasa-jasanya dalam hal-hal tertentu, baik berjasa kepada organisasi, masyarakat atau kepada negara”.

Yasir membaca sambil menunjuk lembar buku pelajaran yang berkaitan dengan soal.

“Kok tadi gak lihat”.

“Ah maca ci”, Yasir meledek dengan suara kaya anak balita.

“Bener Mas”.

“Ah Maca iya”.

“Beneran”.

“Ciyus?”

“Bapaaaaa…”, Fany teriak sambil lari menghambur ke toko di mana Bapaknya berada, “Mas Yasir tuh Pa, dia nakal sama Meli”, sifat dan sikap kekanakan Meli memang masih sangat kental, mungkin karena terlulu dimanja sama keluarganya.

“Iya, biar nanti Bapa laporin ke Mas Sanjaya, biar ditembak”, Jawab Pak Atmaja enteng, tapi cukup membuat Meli kembali tenang dan berhenti merajuk. “Sana lanjutin belajarnya”

Terpaksa Meli kembali ke gudang karena PR harus selesai hari ini, besok harus segera dikumpulkan. Tapi dia tidak melihat Ysir di meja belajar kecil itu. Di gudang yang nampak hanya Muri dan Toto yang sedang berbenah sekaligus menghitung stok persediaan barang.

“Dor!”, sekonyong-konyong Yasir muncul dari balik tumpukan karung bawang di belakang Meli mengagetkan, membuat Meli berjingkrak.

Sejurus kemudian meli kembali berteriak, menghambur ke arah Yasir sambil memukulkan tangan. Yasir yang menyadari hanya menunduk dan menaruh lengannya di depan muka layaknya seorang petinju menahan serangan lawan.

Meli masih menghujani Yasir dengan pukulan yang tidak berasa apa-apa, semua pukulan mengenai tangan Yasir, tidak disangka pukulan terakhir diarahkan ke perut yang tanpa perlindungan. Bugh! Yasir terguling menabrak karung bawang dan jatuh ke lantai dengan posisi tdiur miring, diam tak bergerak.

“Kena Kau”, lantang Meli senang. Tapi kemudian nampak wajah panik, karena Yasir tidak juga bergerak. “Mas, Mas”, kata Meli sambil menepuk punggung Yasir yang tetap terpejam dan tidak bergerak.

“Mas.. ” Meli menepuk berulang dan mengguncang badan Yasir. Kepanikan jelas melanda, bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Dia merasa bersalah.

Yasir secara tiba-tiba membalik badan dan “Bwa!”.

Meli lagi-lagi dikerjai Yasir. Tadinya sudah mau nangis jadi nangis beneran. “Mas Yasir nakal huuuu..huuuu”.

“Eh jangan nangis, maca udah gede macih nagis ci”. yasir masih meledek, “Ayok lanjutin kerjain PRnya” Lanjutnya sambil mengelus kepala Meli lembut. ” Maaf, Mas Yasir emang lagi pengin lihat Meli nangis, solanya lucu kaya anak bayi, imut-imut bikin gemes xixixi”, Yasir terkikik.

“Awas saja, nanti Meli laporin ke Mas Sanjaya, biar ditembak”

“Ah.. Aduh, aku tertembak, aduh, atitttt”, yasir kembali meledek sambil pura-pura tehuyung dan memegang dadanya.

Meli kembali menghambur ke arahnya dan menghujani pukulan, kali ini Yasir membiarkan pukulan itu mengenai seluruh tubuhnya tanpa bermaksud menghindar maupun berlindung. Dia tetap santai berjalan ke arah meja belajar, pukulan Meli sama sekali tidak menyakitkan. Sementara Meli terus memukuli punggunya dari belakang, sampai kelelahan sendiri. Selanjutnya duduk terengah-engah, reflek yasir mengulurkan air mineral botol dari tasnya yang langsung disambar Meli dengan tangan kiri dan bermaksud langsung meneguknya.

“Eh, Bismillah dulu dan pakai tangan kanan”, Yasir mengingatkan.

Meski sambil cemberut, Meli memindahkan botol minum ke tangan kanan baru kemudian meneguknya setelah bibirnya komat-kamit.

Keakraban dua manusia itu tidak lepas dari pengamatan Muri dan Toto, mereka tersenyum menonton keluguan Meli yang dikerjai Yasir. Pak Atmaja juga tidak pernah marah jika Yasir menggoda Meli, karena hanya dengan Yasir, Meli bisa tertawa lepas dan menangis sekaligus, tapi tidak sampai tantrum. Esok harinya dia biasanya akan kembali mencari yasir jika ada PR lagi.

Selain Muri dan Toto, dari luar pintu gudang yang selalu terbuka, sepasang mata lentik sudah mengamati tingkah muda-mudi itu sejak Meli menangis. Dia adalah Fany yang sengaja ingin bertemu Yasir karena sudah satu pekan tidak mendapati Yasir di taman kampus. Meski Yasir sudah memberi tahu beberapa hari sebelumnya akan datang agak siang dan langsung ke kelas, karena harus belajar aplikasi komputer di rumah Pak Atmaja dengan meminjam laptop Meli, tapi Fany kerap menengok taman tiap pagi, berharap Yasir di sana. Keakraban yang terbina karena sering makan dan ngobrol, membuat Fany merasa kehilangan, seolah ada yang kurang manakala pagi hari tidak berjumpa Yasir di taman.

Fany berniat langsung ke gudang setelah dikasih tahu Pak Atmaja bahwa Yasir sedang mengajari Meli mengerjakan PR, tapi tatkala melihat keakraban Yasir dan Meli yang begitu rupa, justeru membuat Fany ragu untuk meneruskan langkahnya. Dia merasa kehampaan muncul di dada menyaksikan pemandangan itu.

Sepertinya kehadiran Fany tidak disadari Yasir dan Fany karena mereka berdua asik bercanda dan kemudian fokus mengerjakan PR. “Hai Yes, Mel, banyak PR nih”, kepalang tanggung, akhirnya Fany memutuskan menyapa.

“Hai Fay”

“Eh, ada Kak Fany”

Yasir dan Meli menoleh sambil balik menyapa hampir serempak.

“Baru pulang Fay?”

“Iya Yes, tadi mampir makan dulu sebelum kemari”

“Banyak PRnya Mel? Emang PR apa?”

“IPS Kak, dikit lagi selesai”, jawab Fany. “Apakah mobilitas sosial dan sebutkan macamnya? Kak Fany tahu ga? Mas yasir lama mikirnya nih”. Fany membaca soal terakhir.

“Mobilitas sosial merupakan perubahan posisi atau kedudukan orang atau kelompok orang dalam struktur sosial, misalnya dari satu lapisan ke lapisan lain yang lebih atas ataupun lebih bawah, atau dari satu kelompok/golongan ke kelompok/golongan lain”. Jawab Fany dengan Faseh.

Berdasarkan arah perpindahan, mobilitas sosial dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

  1. Mobilitas sosial horizontal, yakni perpindahan posisi individu atau kelompok individu dari satu kelompok atau golongan sosial ke kelompok atau golongan sosial lain yang sederajat
  2. Mobilitas sosial vertikal, yaitu perpindahan posisi atau kedudukan individu atau kelompok individu dari satu strata sosial ke strata sosial lain, baik yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah.

Fany melanjutkan dengan beberapa penjelasan.

“Wah, Kak Fany pinter, Mas Yasir kelamaan mikirnya”, celetuk Meli sambil menulis jawaban dari Fany.

“Mas kan sengaja tidak langsung jawab, biar kamu berpikir dek, jadi nanti saat ulangan sendiri bisa jawabnya”, kilah Yasir. “memangnya nanti pas ujian, Meli bisa tanya kak Fany?”, lanjut Yasir sambil menempelkan jari telunjuknya ke jidat meli yang sedang menunduk menulis jawaban.

“iya iya, nanti Meli baca lagi di rumah”

“Anak pinter, gitu dong”, Sambil bangkit yasir mengelus puncak kepala Meli. “Udah selesai dan udah sore dek, waktunya pulang, apa mau nginep di gudang bareng bawang”, lanjut Yasir lagi.

“Meli Cape, minta dianterin”.

“Memangnya tadi kemari naik apa Dek?”

“Naik motor”. Jawab Meli sambil berlalu menuju bapakanya, “Pak, meli cape, ga mau pulang sendiri akh, minta anter Mas Yasir ya pa”. Ungkapnya kemudian. Manja khas Meli.

“Sir, Anterin”

“Nanti saya balik kemari, kamu yang anterin ya dek”.

“Enak aja, terus Meli pulang lagi Mas Yasir yang anterin ya, kapan selesainya kalo bolak balik gitu, ugh..”, Meli menjawab sambil menonjok perut yasir.

“Eh, bareng aku aja yes, Aku ikut nganter Meli, ngawal. Nanti kamu pulang bareng aku”, Fany menyahuti

“Saya belum mandi lo Fan. Bau bawang ini, ntar aromanya nempel ke kamu, mau”.

“Yaudah, mandi di rumah Bapa saja, nanti ganti baju punya Rama, Meli nanti ambilin baju Mas Rama buat Mas yasir ganti ya”, Akhirnya Pak Atmaja menengahi, “sudah sana jalan, udah sore”.

“Tas dek, tasmu endi”, Ucap Yasir saat hendak naik sepeda motor karena melihat Meli melenggang hendak membonceng tanpa membawa tas berisi buku PR tadi.

“Masih di gudang, ambilin mas”.

“Ihh..dasar anak…”

“Anak apa?”

“Anak Bawang”.

“Bapaaa, mas yasir ngatain Meli”

“Iya Meli emang anak bawang, artinya anak bungsu, udah jangan merajuk mulu”. Jawab bapaknya

Yasir bergegas kembali ke gudang membereskan buku dan alat tulis yang tercecer ke dalam tas dan segera kembali ke parkiran. “Ayok dek”. Tapi Meli masih diam, bibirnya manyun. “Ayo adek cantik”, lanjut Yasir sambil terpaksa kembali menyetandarkan motor, menghampiri Meli dan dengan cepat mengangkatnya ala bidral terus mendudukannya di jok motor. Tubuh Meli yang mungil cukup enteng bagi yasir yang terbiasa menjadi kuli panggul. Meli kaget tapi tidak protes. Yasir langsung duduk dan menstater motor matic 125cc itu setelah memasang helm di kepala Meli.

Akhirnya setelah drama Meli ngambek, bertiga mereka menuju rumah Pak Atmaja di Perumahan Panorama, dengan Fany yang membuntuti layaknya sweaper. Meli nampak tidak canggung membonceng dengan memeluk Yasir seperti gaya cicak yang menempel dinding. Hal tersebut membuat Fany merasakan kembali kehampaan dalam dada, Apakah ini yang dinamakan cembur, batinnya bermonolog.

Sesampai di tujuan, mereka disambut Bu Atmaja. Yasir segera menyalami dan mencium punggung tangannya dengan takzim.

“Sore tante”, Fany menyusul menyalami.

De, salim ibu dulu”, sergah Yasir karena melihat Meli yang hendak langsung masuk rumah. Meli mendekati ibunya tapi tidak bersalaman melainkan mencium pipi kanan dan kirinya. “Meli ke dalam dulu, mau ambil baju mas Rama, katanya Mas Yasir mau mandi”.

“Udah ibu siapin tuh nduk, di atas kasur, tolong ambilin. Sana mandi Sir, tadi Bapa nelpon ngasih tahu”.

“Enggih Bu. Fay, tunggu bentar ya”. Yasir bergegas ke dalam rumah, mengambil baju dari Meli dan menuju kamar mandi.

Fany hanya mengangguk.

“Duduk dulu nduk, tante ambilin minum bentar ya”.

“Ga usah repot-repot tante, cuma bentar kok”

Tapi Bu Atmaja sudah berlalu dan kembali beberapa menit kemudian dengan 2 gelas es sirop.

“Jadi Nak Fany kuliah bareng Yasir?”

“Iya Bu, bareng satu kampus tapi beda jurusan, Fany ambil akuntansi”, Fany menjelaskan. Obrolan seputar kampus, juga keluarga masing-masing mewarnai. Keluarga Atmaja dan Prawira memang akrab, bahkan sudah seperti saudara.

Tidak lama berselang Yasir datang, sudah berganti baju. Dibelakangnya Meli mengiringi. Keduanya nampak habis berdebat sesuatu. Fany memegang baju kotor milik Yasir.

“Ada apa lagi si?” Kata Bu Atmaja melihat roman muka keduanya. “Sir, minum dulu siropnya”, imbuhnya

“Enggih Bu”, Yasir meneguk sekali habis. “Itu Bu, Meli katanya mau nyuci Baju saya, emang adek kecil udah bisa nyuci Bu”, selorohnya menggoda. Sebenarnya yasir merasa tidak enak, sudah dipinjamin baju dan baju kotornya tidak boleh dibawa pulang sama Meli, Yasir yakin yang mencucui pasti bukan Meli tapi Mbak Nani, pembantu rumah tangga keluarga Atmaja.

“Oh tentu saja bisa, anak ibu yang paling cantik kan serba bisa, dia bahkan sedang belajar memasak sama Mbak Nani, iya kan nduk”.

Meli hanya tersipu, dia memang menahan baju kotor Yasir untuk dicuci, dan memang berniat mencuci sendiri. Keinginan yang mendadak muncul begitu saja. Dan Meli tidak bisa dicegah oleh siapapun kalo sudah punya keinginan.

“Udah Yes, udah sore. Tante, Fany pamit. Mel, Kakak pulang dulu ya”, Fany mengalihkan pembicaraan.

“Ayok”, Jawab Yasir sambil menyalami ibu majikannya. Selanjutnya dia bangkit menghampir Meli, dia elus puncak kepalanya, “Jangan lupa belajar lagi dek. Mas yasir pergi dulu ya”.

Yasir menaiki motor sport Fany, disusul Fany di jok belakang. Setelah mengangguk ke tuan rumah, mereka keluar pagar dan berlalu. Roman muka Meli berubah muram menyaksikan pemandangan itu dan bergegas masuk rumah, melempar begitu saja baju Yasi ke lantai ruang tamu. Bu Atmaja yang memperhatikan perubahan sikap Meli menjadi khawatir anak gadis satu-satunya itu akan kembali merajuk.

“Mampir rumah Eyang dulu ya Yes, kan kamu belum jadi ke sana”, Kata fany saat mereka sampai di jalan raya.

“Tunjukin jalannya”, jawab yasir sambil mengangguk.

Selanjutnya motor melaju mengikuti instruksi Fany yang memberikan arahan menuju rumah Eyang di Sumberrejo. Tidak perlu waktu lama, mereka sampai di rumah eyang.

Setelah memarkir motor di halaman rumah kecil namun cukup asri itu, Fany mengucap salam dan membuka pintu.

“Eyang, Fany datang”, teriaknya kemudian diikuti Yasir di belakangnya.

Nampak perempuan lanjut tapi masih terlihat bugar sedang duduk di ruang tamu sambil menonton TV. “Tumben sore moro Fan?”, tanyanya pada si cucu yang sudah menghambur duduk di sofa dan memluk serta mencium keningnya.

“Iya tadi dari rumah tante Atmaja, di Pesona. Eyang ini Yasir yang di kereta waktu itu”, Fany menjawab sambil mengenalkan Yasir. Yasir mengangguk dan bersalaman dengan Eyang.

“Oh, iki tah, jebul ngguwanteng kon yo, pantes putuku ngesir awakmu”. Eyang menepuk punggung Yasir yang sedang kembali berdiri dari salamnya. Yasir hanya tersenyum.

“Eyang apaan si”, wajah Fany bersemu merah mendengar ucapan Eyang yang tidak diduganya.

“Halah, cen iyo kan, kamu kan selalu antusias kalo menceritakan pahlawanmu ini. Bag..bug..bag..bug, 4 berandal menyerah tanpa bisa membalas”. Sambil tangan Eyang menirukan gaya memukul. Sepertinya fany menceritakan kejadian di taman saat dia diganggu lelaki nakal dan ditolong Yasir. Fany makin tersipu karenanya

“Udah ah, Fany laper, ada makanan apa Eyang?”, Fany segera mengganti topik pembicaraan sebelum Eyang semakin menggodanya.

“Mbok Inah masak telor balado tuh, masih ada. Ayok cah bagus, makan bareng Fany. Eyang minta maaf ya karena dulu tidak sempat ngucapin makasih. Ayok, makan”, Eyang bangkit mempersilahkan Yasir mengikutinya ke ruang makan.

“Ayo Yes, ga usah sungkan, perut kan gak bisa dikasih makan sungkan..hehehehe”, Fany memanggil dari meja makan dan sudah meletakan 2 piring, mengisinya dengan nasi putih serta lauk seadanya.

“Ayok le, kancani Fany, nek ji kurang, imbuh ae, entek yo masak neh”, Eyang kembali memanggil Yasir yang masih ragu.

Di meja makan Eyang menemani dan sedikit menginterogasi Yasir. “Oh, dadi kon mbantu neng bedake Atmaja, njur kuliah?”

“Enggih Eyang”

“Kuat men kon, ora kesel tah, awak karo utek dienggo kerja abot kabeh”.

“Alhamdulillah, sampai sat ini masih kuat Eyang”.

Obrolan ringan masih berlanjut, yasir juga merasa kerasan dengan Eyang, seperti di keluarga Atmaja yang tidak memandang status sosial, Eyang juga sama sekali tidak menyinggung hal itu berkaitan dia akrab dengan Fany yang seorang anak Prawira. Pemilik Prawira Group.

Setelah numpang Maghrib, Yasir dan Fany pamit pulang. Sepanjang perjalan, fany nampak ceria bahkan berani membonceng dengan gaya seperti yang dilakukan Meli. memeluk Yasir, alasannya biar aman kalo yasir mau ngebut, karena sudah malam, begitu dia menjelaskan karena yasir sedikit risi, maklum, Fany bukanlah Meli yang manja. Kalo Meli memang dianggap kanak-kanak yang selalu manja kepada semua keluarganya, termasuk Yasir yang seolah jadi kakak angkatnya.

Sampai di Pasar Mergan, Yasir menghentikan laju sepeda motor.

“Makasih untuk hari ini Yes”, kata Fanny sebelum pamit.

“Iya Fay, sama-sama. Ingat…”

“Iya, aku ga ngebut”, Fany menyambar cepat dan berlalu dengan tersenyum meninggalkan Yasir yang masih menata hatinya. Ada sesuatu menyeruak muncul dari relung hatinya yang paling dalam. Menghentak tak terbantah. Ada bunga yang mekar tanpa disiram. Bersemayam manja di dada. Sisa senja sore itu seoalah mengabarkan, ada hati yang tertaut tanpa kata, meski malam menutupi dengan gulita, kabar itu tetap terpancar seiring dewi malam memancarkan cerianya. Purnama menyapa mayapada. Yasir menarik napas dalam dan menghembuskannya, mencoba menepis rasa yang selalu ia lawan tiap kali muncul, dia harus fokus dengan pekerjaan dan kuliah. Dia tidak ingin Pak Atmaja kecewa, juga ibunya di jawa tengah sana, yang percaya Yasir akan membuktikan janjinya. Melangkah pasti menuju motor inventaris yang masih terparkir di halaman toko Pak Atmaja, nampak Toto menunggu.

===============***==============

Iklan

3 respons untuk ‘Trust

Tinggalkan Balasan ke Triyanto Banyumasan Batalkan balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s