Terbiasa panasan di areal Ancol, juga harian Jakarta yang Hot Never Dies…ee..mudik sowan siMbok disuguhi udara adem nyenyet nusuk tulang, mungkin angin dari musim yang sedikit kemarau membawa udara dingin menembus relung lobang angin gubuk Mbok ku yang memang tanpa plafon dan berdinding semi alami, alias masih menggunakan papan kayu sebagian.
Meski berbau kemarau tapi tampak dedaunan masih menyapa dengan hijaunya, buah melinjau berbuah satu dua tak terpetik, jengkolpun sepertinya bernasib sama, durian baru dlongop (kembang duren) meski dibeberapa tempat sudah dipanen dan dijual, cuma Petai yang dari Pendul (kembang petai) sudah menarik perhatian tengkulak datang menawar dengan system ijon.
Pohon kelapa tampak berbuah bebrapa batang, selebihnya sebagian besar bergelantung pongkor (lodhong) dari bambu dan stoppless plastik menadah wala (manggar/kembang kelapa muda yang masih tertutup mancung dibelah dan diikat rapi) tempat keluarnya sajeng (badheg/tuak/nira/ bahan dasar gula merah) dimana tiap pagi dan petang diturunkan bergantian, sebelum memasang pongkor baru, wala harus dipotong setengah senti untuk membuka kembali pori pori lobang kapiler pada ujung wala agar air nira kembali mengalir, setelah seharian atau semalaman ditadah bisa jadi ujung wala mengering dan pori pori kapiler mampet.
Yups Masbro, semenjak tragedi penebangan besar-besaran terhadap pohon Cengkih karna harganya yang anjlok akibat monopoli oleh oknum atas nama KUD, penghidupan di dusunku lebih mengandalkan kepada aliran sajeng untuk dijadikan gula merah, juga mengganti pohon cengkihnya dengan berbagai pohon yang menghasilkan kayu seperti kayu Mirah (jenis albasia atau sengon laut) yang bisa dipanen setelah setahun atau sesuai permintaan pembeli, meski harga cengkih sudah membaik dan membubung tinggi tapi untuk menanam dan memanen diperlukan waktu paling tidak 5 tahun. Ada yang nanem tapi tuidak serius, lebih memilih bertani lain atau berdagang.
Ya dagang, mulai tumbuh pedagang keliling macam Bakso atau siomay, padahal di gunung, mereka menggunakan gerobak motor, ada juga yang membuka stan menetap, counter pulsa juga mulai menggeliat, yups keadaan memang kadang memaksa orang untuk berpikir lebih keras demi “PENGHIDUPAN YANG LAYAK BAGI KEMANUSIAAN”
Tapi meski sebagian mengandalkan hidupnya pada nira kelapa, banyak dari mereka yang berani kredit motor baru dengan uang muka minimal, berapa pohon kelapa yang jadi andalan untuk mencicil ? Ada yang sampai 35 pohon, bahkan lebih. Meski bukan milik pribadi tetapi memakai system paron alias bergilir, misal 3 hari pemili kebon, 3 hari kemudian penderes dan seterusnya, bayangkan 35 batang pohon kelapa dengan tinggi 10 meter yang mesti dipanjat 2 kali sehari yaitu pagi dan sore …. Itulah hidup, itulah kehidupan. Apa penulis pernah merasakannya ? Pernah tapi cuma sehari, dan ternyata tidak berbakat memotong wala, jadi memotong wala tidak sembarang memotong ada seni dan perlu keahlian, jika tidak mahir kaya penulis, ngalamat sajeng tidak akan mengalir dan pada sesion pemanjatan berikutnya kita hanya mendapati pongkor kosong…
Masih panjang cerita yang ingin kutulis, kata ini kurangkai mengenang kejayaan dan kehancuran cengkih, juga suka dukanya para penderes nira kelapa di Banyumas khususnya dikampungku yang selalu menghasilkan gula super dan sangat diminati oleh Indofood.
Bersama Purwojaya, kutinggalkan stasiun Purwokerto dan kampungku. (maaf buat Maskur, ga bisa nemuin, buat Cak Poer : saya mampir tapi masih krukupan mi Jozz nya) Wassalamu’alaikum
Dikirim menggunakan Wordmobi
Menyukai ini:
Suka Memuat...
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.