Dasar Ndeso Nggunung


“Wis ndesa, nggunung maning. Ja klalen nggawa tambang karo anda nggo munggah nggunung”

Itulah cemoohan yang sering saya dapat saat sekolah SMP, yang artinya “Udah (tinggal di) desa, gunung pula. Jangan lupa bawa tali sama tangga buat manjat gunung”. Dulu, itu cemoohan biasa, ledekan yang sudah mafhum saya terima, toh mereka cuma bercanda. Saya anggap begitu. Sekedar ledekan, kalo sekarang mungkin disebut soft bullying, atau bully ringgan, karena dulu saya belum kenal kata ‘bully’.

Saya memang tinggal di desa yang terletak di perbukitan seltan kota Banyumas, dan sekolah di SMP kota kecamatan Banyumas. Padahal, di kecamatan Banyumas, tidak ada kelurahan, semua wilayah di kecamatan tersebut adalah Desa. Pembaca paham kan bedanya kelurahan dan desa?

Baiklah, saya ceritakan sedikit wilayah Banyumas. Banyumas merupakan sebuah kabupaten di wilayah Jawa Tengah, yang beribukota di Purwokerto, jadi Purwokerto adalah kota administratif dari kabupaten Banyumas. Sedangkan Banyumas sendiri merupakan sebuah kecamatan di selatan Sungai serayu. Kalo dari kota Purwokerto ke arah tenggara, ada kecamatan Sokaraja, ke selatan ketemu kecamatan Kalibagor, menyeberang Sungai Serayu barulah ketemu Kecamatan Banyumas. Sedang desa saya masuk wilayah kecamatan Somagede, kecamatan paling timur dari kabupaten Banyumas sebelum masuk wilayah kabupaten Banjarnegara.

Kota kecamatan Banyumas adalah wilayah yang cantik, persawahan masih menghampar, meski mulai menyusut, beralih fungsi menjadi perumahan dan pertokoan. Wilayahnya dikelilingi Perbukitan. Di utara ada perbukitan wilayah kecamatan Kalibagor menghampar ke timur sepanjang kali Serayu. Di selatan, perbukitan sebagian masih desa wilayah kecamatan Banyumas. Terhampar perkebunan Karet yang dikenal Krumput. Perbukitan ini memutari wilayah kecamatan Banyumas dari timur, yang merupakan perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Kebumen, di mana terletak hulu sungai serayu, ke barat ada kecamatan Kebasen, hingga bertemu kembali sungai serayu dan seterusnya.

Jadi sebagian wilayah Banyumas adalah pegunungan. Jadi saya merasa wajar disebut cah nggunung plus ndeso. Dan saya belum pernah marah disebut ‘ndesa’. Ndesa itu aksen atau logat Banyumas, biasa disebut ‘Ngapak’, sedang ‘ndeso’ itu aksyen wilayah timur Banyumas, biasa kami bilang ‘Bandek’ (e, seperti menyebut unggas bebek). Basa atau logat bandek bagi kami adalah bahasa yang alus. Bahkan kami yang bisa memakai bahasa krama atau kromo, merasa kalah halus jika mendengar orang timur banyuamas bercakap meski pakai bahas ngoko sekalipun. Oh iya, wilayah yang mulai memakai aksyen bandek bagi kami, mulai Banjar negara wilayah timur, Wonosobo dan seterusnya.

Jadi, jika ada yang meledek saya dengan kata “Dasar Ndeso” sama sekali tidak terdengar menghina, waktu itu. Seiring perjalanan waktu, pergaulan yang meluas, sistem informasi yang semakin cepat, hingga siaran televisi swasta yang semakin mudah diakses, kata ‘dasar ndeso’ semakin tenar dengan munculnya pelawak Tukul. Apalagi dengan iklan yang justeru menjadikan kata ungkapan, ledekan khas Tukul, “ndeso” sebagai ungkapan yang mampu menaikan rating dari iklan tersebut, maka kata ‘dasar ndeso’ menjadi ledekan yang lumrah bagi sebagian orang, meski sebagian lain menganggap itu penghinaan.

Saat sedang marah ke orang lain. sesorang juga kadang mengumpat dengan ungkapan “dasar ndeso” tersebut. Jadi, menghina atau tidaknya sebuah kata, bisa kembali ke pribadi masing-masing. Bahkan belum lama ini, saya menyaksikan 2 teman saya yang saling meledek, membully satau sama lain. Yang awalnya sama-sama bercanda, ternyata berubah menjadi ‘perdebatan’ fisik. Sampai ada aksi mencekik leher. Dan saat itu saya anggap kedua kawan tersebut masih bercanda. Ternyata, kawan satu benar masih bercanda, tapi yang satu lagi ternyata merasa terhina dan serius. Emosi muncul.

Usut punya usut, ternyata kawan yang satu memang sulit bercanda, kalimat yang bagi orang pada umumnya merupakan candaan, bagi dia sudah merupakan cemoohan serius dan membuatnya emosi. Jadi, cemoohan atau bukan, kita perlu memahami watak orang lain. Biasa bagi kita belum tentu bagi orang lain. Pemahaman inilah yang mungkin perlu dipahami oleh para pegiat sosial media. Agar tidak mudah mengungkapakan candaan yang bisa jadi sensitif bagi orang lain.

Termasuk saat Pak Presiden menghimbau agar tidak mengejek dengan kata ‘ndeso’, karena itu merendahkan rakyat kecil. Menurut saya, orang desa dan ndesa atau ndeso itu sangat berbeda. Orang desa adalah orang yang tinggal di pedesaan, sedang ‘ndeso’ adalah ungkapan yang berlaku bagia semua orang yang menjustifikasi, menuduh bahwa orang tersebut kampungan, tidak terpelajar, kurang pergaulan, sempit pemikiran, udik dan semacamnya, yang identik dengan penduduk terbelakang yang tinggal di pedalaman dan jauh dari peradaban.

Jadi, bijaksanalah dalam berbicara, bersosial media, bersikap. Meski era sekarang, sekelas media besar ternama, istana keprisidenan, universitas agung, TV swasta nasional, menteri dan banyak lagi lainnya juga bisa keceplosan, sampai menokohkan plagiator yang juga mudah keceplosan.

 

Iklan

8 respons untuk ‘Dasar Ndeso Nggunung

  1. Udah feeling dari jaman pertama acara 4 mata, ini acara bakal meningkatkan trend humor dengan unsur hina menghina. BTW putra presiden saat ini kok terlalu blak-blakan ya, kayak nggak berusaha tampil ala petinggi.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s