Kaos Kaki dan Hari Indra Kustiwa


“Tri, nyilih striwelmu, nyong rep njiot kartu ebtanas”

Sebuah sapa dari Sito, teman sekampung beda kelas di hari Senin pagi sesaat sebelum bel masuk jam pertama berbunyi. Hari yang dipenuhi otak dengan segudang pengetahuan guna menhadapi hari pertama ujian akhir sekolah lanjutan pertama. Evaluasi Belajara Tahap Akhir Nasional atau biasa disingkat Ebtanas, merupakan penentu kelayakan sesorang untuk melanjutkan ke jenjang sekolah selanjutnya. Nilai murni yang akan menjadi kebanggaan tersendiri.

Sito bermaksud meminjam kaos kaki. Ya dalam dialek banyumasan, kaos kaki lebih akrab disebut setriwel. Saya kaget dan keberatan, tentu saja, karena sebetar lagi bel jam pertama Ebtanas akan berbunyi. Tapi rasa iba tidak bisa menolak. Dia meminta dengan memelas. Setiap siswa wajib membawa kartu peserta ebtanas. Kartu Ebtanas hanya bisa dimiliki jika sudah melunasi SPP. Dan tidak mungkin dia ke kantor dengan sepatu telanjang, bisa dikramasi.

Sito memang agak bengal, hari pertama Ebtanas masih saja berani melanggar peraturan. Setiap siswa harus mengenakan sepatu hitam dengan kaos kaki putih. Saya hanya memiliki kaos kaki sepasang, meski warna agak kusam karena debu yang menempal, bahkan sisi sebelah sudah mengeper, pertanda karet penguat gelang kaos kaki kendor atau putus. Kaos kaki yang semestinya menempel erat ke pergelangan kaki, terpaksa mlorot, layaknya muka lesu siswa yang ketahuan menyontek.

Ya, akhirnya kurelakan kaos kaki kepada Sito. Gontai dia pergi ke kantor setelah memakai kaos kaki guna menebus kartu peserta ebatanas. Saya berharap cemas.

Deg–deg–deg–

Menit demi menit hingga detik akhir jelang bel jam pertama Ebtanas Sito tidak kunjung muncul, hingga bel berbunyi dan semua siswa berbaris depan kelas. Sebagai ketua kelas, saya yang semestinya menyiapkan pasukan siswa ini, menyerahkan tugas kepada siswa lain. Tidak layak seorang kepala peleton tanpa kaos kaki. Bertepatan dengan beringsutnya saya ke barisan, seorang guru baru saja hadir di parkir kendaran yang tepat berada di depan kelas kami. nanar matanya menatap mata kaki saya yang telanjang,

Hari Indra Kustiwa. Nama yang mungkin akan saya ingat sepanjang hidup saya. Seorang guru Geografi yang lebih cocok jadi guru Pendidikan Moral Pancasiala (PMP). Dialah guru yang membuat bukan cuma mata kaki saya yang telanjang, tapi seolah sekujur badan ini tidak berbusana.

Pandangan sang guru membuat saya memasuki kelas dengan hati gundah gulana. Saya yang sedang berkonsentrasi membaca soal Ebtanas satu demi satu, terhenyak. Sekonyong-konyong Guru kiler itu memasuki kelas dan langsung menuju tempat duduk saya. Menjambak rambut dan menariknya hingga hampir muka saya menyentuh lembar jawaban yang berisi bulatan khas khusus Pensil 2B. Hari Indra Kustiwa marah.

Ya, Dia marah. Sebagai seorang guru yang mengajar moral siswanya, merasa gagal karena mendapati siswanya melanggar perturan yang cukup krusial, tidak mengenakan kaos kaki. Apalagi pengawas Ebtanas merupakan guru dari sekolah lain, mungkin hal itu yang menambah malu guru dengan mata lebar dan terkenal killer ini.

Saya yang mendapat perlakuan sedemikian rupa terhenyak dan malu. Saya yang sedang berusaha konsentrasi mengingat pelajaran yang saya baca semalam, buyar berantakan. Pengetahuan akan jawaban soal ebtanas di jam pertama itu seolah mental keluar dari kepala, bersayap, mengepak dan terbang keluar jendela kelas. Meninggalkan diriku yang terpaku, terhinakan. Pilihan mana yang tadi sudah mau saya warnai dengan pensi 2B, lupa, hilang dan kelabu.

Selesai jam pertama, bergegas kucari sito. Dia hanya mengucap maaf datar tanpa penyesalan, meski sudah kucertakan pengalam buruk yang menimpa karena kelakuannya. Saya tidak marah, tidak juga berusaha mengklarifikasi kepada guru Geografi, Hari Indra Kustiwa. Dan kenangan ini selalu mencerca dan menertawakan tiap kuingat masa SMP.

Hari Indra Kustiwa, apa kabarmu guru?(tri)

5 respons untuk ‘Kaos Kaki dan Hari Indra Kustiwa

Tinggalkan komentar