path of death
“Rampokkk!”, suara teriakan salah satu tetangga Sanjaya mengagetkan Yasir yang sedang mengeluarkan motor dari garasi. Seiring dua sepeda motor 2 tak melaju kencang melewati jalan komplek perumahan itu. Suatu pagi jelang Subuh. sebulan setelah kepergian Meli. Yasir tengah bersiap menuju pasar. Yasir sudah mulai menjalani kehidupan normalnya meski keceriaan dari wajahnya belum nampak. Hari-harinya juga terasa hambar. Hampir tiap hari sepulang dari pasar Yasir akan mampir ke makam Meli. Sekedar melepas penat pikiran dan mencurahkan segala perih hatinya. Dia belum bisa merelakan kepergian Meli secara penuh. Dia terlalu sayang sama isterinya. “Tolong itu yang motor dua itu, itu rampok”, kembali terdengar teriakan yang makin kencang, saat ini tetangga itu sudah berada di jalan, memandang nanar ke arah sepeda motor yang baru saja berlalu.
“Ada apa Sir?”, Sanjaya keluar rumah masih mengenakan piyama tidur.
“Rampok katanya Mas”. Yasir mengenakan helmnya. “Saya akan mengejarnya Mas”.
“Jangan Sir, berbahaya”. Terlambat, Yasir sudah melesat dengan sepeda motor India over bore. Dia sekalian ingin membuktikan performa motor yang kata empunya sebelumnya sanggup meladeni Ninja 2 tak dengan enteng. Sanjaya segera kembali ke dalam rumah, berganti pakaian, menelpon kesatuannya agar segera datang ke kompleknya, mengurus korban, sekaligus mengabarkan dia yang akan mengejar perampok sekaligus Yasir. Tergesa dia menstater RX-King kesayangan setelah pamit ke Rina yang sedang menimang Ana. Entah mengapa tiba-tiba bayi itu menangis histeris, padahal tadinya sedang nyenyak tidur. Sanjaya melihat ponselnya, ada pesan masuk dari Yasir, anak itu mengirim map posis terkini. Cerdas, batinnya. Sanjaya mengklik dan memasang ponsel di holder yang sengaja disediakn di motor itu. Dia ikuti titik merah pada map yang nampak terus bergerak setelah sebelumnya membagikan map itu ke teamnya, agar ada yang menyusul.
Sementara itu, Yasir menggeber motornya dengan kecepatan tinggi. Dia menebak si rampok berbelok ke arah barat setelah sampai di jalan utama. Mereka tidak munhkin ke arah kota, batinnya. Setelah 2 menit, Yasir bisa melihat dua sepeda motor dengan knalpot yang mengepulkan asap halus, warnanya juga sesuai, itu dia, batinnya lagi. Dia menambah kecepatan motor India overbore itu. Dia mengakui apa yang dibilang si empunya motor sebelumnya. Ganas, pikirnya.
Jarak dengan si rampok semakin dekat, tiba-tiba salah satu pengendara yang ada di belakang membalik badan sambil mengacungkan sesuatu ke arah Yasir, dan “Dor!”, suara letusan senjata api rakitan meletup. Sepertinya rampok menyadari sedang dibuntuti dan menembak ke arah Yasir. Menyadari hal tersebut Yasir mengelak dengan cepat, tapi hal itu membuat motornya oleng dan turun dari aspal, beruntung dia masih mampu mengendalikan dengan susah payah. Karena kejadian barusan, membuat gap antara dia dan si rampok. Yasir kembali menambah kecepatan sepeda motor. Setelah satu menit Yasir kembali melihat si rampok di kejauhan. Meraka berkelak-kelok di jalan yang menanjak dan kadang menurun itu. Malang sisi barat memang perbukitan dengan beberapa perumahan yang semakin tahun semakin tumbuh seiring bertambahnya penduduk di kota pelajar nan sejuk itu.
Mendekati perempatan Yasir menambah kecepatan sepeda motronya, si rampok kembali berbalik badan dan menembak. Yasir tidak menghindar, justeru menambah kecepatan, menjajari sepeda sepeda motor rampok belakang, menempel dan menendang setang motor si rampok. Dalam kecepatan tinggi, senggolan sedikit saja pada setang, mampu membuat motor itu oleng dan sesaat kemudian terpelanting menghantam aspal.
Yasir merasakan perih di dada kiri sisi atas. Sepertinya tembakan tadi berhasil mengenainya. Yasir sudah tidak perduli lagi, dia menambah kecepatan sepeda motor, mendekat sepeda motor satu lagi, si rampok yang mengendalikan motor sambil memegang pistol membuat kecepatannya tidak penuh dan kontrol kendaraannya tidak terlalu baik. Sekali lagi dia membalik badan hendak menembak ke arah Yasir yang sudah tepat di belakang sisi samping, berbarengan letusan senjata api rakitan dari si rampok, Yasir menarik throtle gas maksimal, selanjutnya dia melompat ke udara dan salto ke belakang, motornya menderu deras menghantam sepeda motor si rampok. Membuat kedua motor itu beradu keras menghantam aspal dan terpental ke arah berbeda, terguling berulang kali.
Yasir mendarat dan terguling di aspal terbawa gaya dorong dari kecepatan sepeda motor. Beruntung dia mengenakan helm. Dia berusaha bangkit dan hendak mengejar ke arah rampok yang ternyata berhasil melompat sebelum sepeda motornya terpelanting ke aspal. “Yasir, jangan!”, teriakan Sanjaya yang baru sampai di tempat kejadian. Yasir seolah mengabaikan peringatan Sanjaya dia justeru berlari menerjang ke arah si rampok yang masih memegang pistol rakitan, “Dor!”, letupan senjata menggema, Yasir menerjang ke arah penembak, dia sama sekali tidak berusaha menghindari peluru itu, selanjutnya Yasir ambruk ke aspal memegang dadanya. “Dor”, terdengar letupan pistol dari sisi lain, Sanjaya menembakan pistol semi otomatis ke arah perampok, darah mengucur dari keningnya, sedetik kemudian rampok itu ambruk tak bergerak.
Kejadian di sekitar permpatan itu tidak lepas dari pantauan CCTV lalu lintas yang terpasang, meski tidak lengkap dan samar, tapi cukup mampu menampilkan tayangan yang menegangkan saat Yasir salto, dua motor beradu dan terpelanting di aspal, Yasir berlari, tertembak dan juga saat si rampok tertembak oleh Sanjaya.
“Sir”. Sanjaya memegang tubuh Yasir yang bersimbah darah. Yasir hanya mengerang memegang dadanya. Sanjaya menghubungi kesatuannya agar membawa ambulance ke lokasi, 2 menit kemudian muncul mobil polisi yang ditugaskan mengikuti pergerakan Sanjaya melalui aplikasi map. Akhirnya Yasir dinaikan ke mobil polisi dan dibawa ke rumah sakit. Setelah memberi arahan secukupnya Sanjaya menyusul.
Sesampai di rumah sakit, Yasir langsung mendapat pertolongan pertama di UGD. Karena perlu penangana khusus, Yasir dibawa ke ruang operasi guna mengangkat dua peluru yang bersarang di tubuhnya. Beruntung peluru itu tidak menembus jantung, andaikan ke sisi tengah sedikit lagi, bisa jadi Yasir meregang nyawa. Tapi karena sakit dan darah yang keluar cukup banyak, membuat Yasir tidak sadarkan diri.
Yasir terbangun, tapi dia heran, karena sekarang berada di tengah taman yang indah. Dia terkagum-kagum, baru pernah dia lihat taman seindah itu. Aneka bunga tertata rapi. Pepohonan besar dan kecil juga proporsionla menghiasi dan memayungi taman itu. Aneka anggrek warna-warni menempel di batang-batang pohon itu. Yasir melangkah menuju anggrek terdekat yang bisa ia jangkau, anggrek ungu dengan bintik-bintik putih kemerahan di kelopaknya. Yasir tersenyum, indah sekali, bisiknya. Di pohon lain ada anggrek merah, putih kuning dan saat Yasir terus mengedarkan pandangan, sepertinya semua warna anggrek ada di taman tersebut, menumpang hidup di btiap batang pohon yang memayungi taman. Ada danau dengan air yang begitu jernih. Diseberang sana, air terjun yang mustahil kalo itu buatan, karena nampak sangat alami. Tidak terlalu tingi dan tidak terlalu besar alirannya. Jatuh menerpa bebatuan dan bermuara di danau. Ikan-ikan aneka rupa dan warna berenang bebas seolah tidak mengenal takut. Nampak gadis muda nan jelita sedang duduk di pinggir dananu dengan kaki menjuntai yang sebagian terendam air jernih itu. Ikan-ikan juga mengitari kaki dengan jemari mungilnya.
“Dek!”, Yasir setengah berteriak.
“Mas Yasir, kok Mas Yasir di sini?”. Meli membalas heran.
“Mas memang nyusul kamu Dek”.
“Mas Yasir tidak boleh kemari. Mas Yasir harus kembali menemani Ana di rumah”.
“Tapi Mas Yasir ingin menjagamu dek, kan dulu sudah bilang, Mas akan menjagamu 24 jam, biar Meli ga sakit lagi”.
“Meli sudah sehat dan bahagia Mas. Lihatlah, Meli bahagia di sini. Tugas Mas Yasir sudah purna. Sekarang tugas Mas Yasir menjaga Ana, Meliana Putri Yasir Atmaja Mas. Anak kita”.
“Berarti Meli juga harus ikut pulang. Ana juga kangen sama ibunya”.
“Tidak bisa Mas. Itu tugas Mas Yasir. Tugas Meli sudah selesai”.
“Tapi Dek. Kenapa Meli tidak mau pulang?”.
“Meli sudah pulang Mas. Sekarang Meli sudah berada di rumah yang semestinya. Tapi Mas Yasir tidak. Mas Yasir harus pulang ke Ana. Anak kita”, Meli mengulang mengingatkan Yasir tentang anak mereka.
“Dek. Mas Yasir tidak bisa hidup sendiri. Tanpa kamu dek”.
“Mas Yasir pasti sanggup. Mas kan orang paling tangguh, kuat dan pantang menyerah. Jangan berhenti mencintaiku, tapi jangan lupa Ana, dia lebih membutuhkan kasih sayang dan cinta Mas Yasir daripada Meli. Pulanglah Mas. Meli bahagia di sini”. Meli bangkit dari duduknya. “Pulanglah Mas, bahagiaknlah Ana, jaga dia. Meli selalu percaya Mas Yasir. Meli akan semakin bahagia jika melihat Mas Yasir berbahagia bersama Ana. Pulanglah. Kasihan Mas Sanjaya, Ibu dan Bapak yang juga menunggu. Mereka mengkhawatirkan Mas Yasir. Pulanglah Mas”. Senyum Meli tetap mengembang menggambarkan kebahagiaan.
“Dek, Mas ingin kamu ikut pulang bareng Mas Yasir”, Yasir mendekat mencoba merengkih gadis mungil itu, tapi apa yang terjadi. Tubuh Meli seolah menguap dan hilang. “Meliiiii!”, Yasir berteriak cukup kencang. Dia mengerjapkan mata dan tersadar, yang terjadi barusan adalah mimpi atau ilusi, tapi terlihat begitu nyata.
“Sir, kamu sudah sadar. Syukurlah”, Sanjaya mengelus kepala Yasir pelan.
“Mas, Meli Mas. Tadi saya ketemu Meli. Saya mau nyusul Meli Mas. Saya ….hik…hik.. saya mau ajak Meli Mas. Tapi dia tidak mau pulang….”, Yasir sesenggukan, tubuhnya bergetar menahan kesedihan.
“Sabar SIr, Meli sudah pulang. Pulang kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Meli pasti ridak mau lihat kamu terus meratapi kepergiannya”, Sanjaya mengelus kepala adik iparnya.
“Saya ingin nyusul Meli, kenapa saya masih di sini. Kenapa peluru itu tidak membunuhku”. Yasir masih meratap, dia pegang dadanya yang diperban. Ya, Yasir memang sengaja menerjang peluru dari pistol si rampok. Saat dia mengejar perampok, bayangan Meli terus hadir seakan memanggilnya. Dia berpikir mungkin itulah saatnya, saat yang tepat untuk menyusul isterinya tercinta. Saat peluru terakhir si rampok meletup dan menembus dadanya, Yasir sudah pasrah. Ya dia sengaja menyambut peluru itu, tidak menghindar sama-sekali. Hanya ada wajah Meli yang dia lihat. Yasir sesenggukan menangisi nasibnya. Mengapa dia tidak mati.
“Kamu tidak boleh menyerah Sir”, suara Sanjaya meninggi. “PLAK!”, Sanjaya menampar Yasir dengan cukup keras. Kedua orang tuanya yang ada disitu kaget bukan kepalang melihat kelakuan anak sulungnya. Tapi mereka tidak bisa mencegah. “Kamu Yasir, pemuda tangguh, pejuang hidup. Kamu bukan pengecut. Kamu bukan pecundang Sir. Apa kamu lupa untuk apa kamu dilahirkan ke dunia ini?”. Suara Sanjaya yang cukup keras mengagekan perawat yang kemudian masuk ingin tahu apa yang terjadi. Saat perawat hendak melarang Sanjaya bertindak dan berbicara lebih jauh, Pak Atmaja menahannya. Atmaja sudah paham Sanjaya, anak sulungnya cukup bijak dalam bertindak, maka dia yakin apa yang dilakukan Sanjaya saat ini pasti punya alasan kuat dan demi kebaikan Yasir. “Kamu boleh mencintai Meli sedalam yang kamu inginkan, setulus yang kamu ungkapkan. Tapi kamu juga tahu, dia anak Atmaja, adiku satu-satunya yang perempuan. Satu-satunya perempuan di keluarga Atmaja. Kamu tahu betapa terpukulnya kami? Kamu paham betapa kehilangannya ibu? Tapi apa yang kamu lihat pada kami dan khususnya ibu. apa kamu lihat ibu terus meratapi Meli? Tidak Sir, tidak. Ini sudah takdir Ilahi. Tidak ada yang bisa menolak, tidak ada yang bisa menghindar maupun memundurkan jika waktu panggilan sudah datang. Saya, bapak, ibu, kamu dan semua yang bernyawa akan mati. Semua akan mati Sir.”, Sanjaya menaikan 3 oktaf pada kalimat terakhirnya. Kemudian dia melanjutkan dengan kalimat yang lemah lembut, “Bangun dan lekaslah sembuh, sekarang kamu yang jadi tumpuan ibu. kamu pengobat rindu kepada Meli. Kamu tahu Sir, ibu ingin kamu tinggal di rumah ibu, bapak juga demikian, tapi Mba Rina ingin merawat Ana dan aku tidak mau menjauhkan kamu dari Ana. Bapak dan ibu bisa mengobati luka kehilangan Meli dengan melihat kamu Sir. Melihat kamu tersenyum. Bangun dan lekaslah sembuh. Aku mohon, biar ibu dan bapak juga bahagia. Apa kamu ingin membuat bapak dan ibu semakin sedih?”. Itulah Sanjaya, dia mampu membakar semangat sekaligus menyentuh relung hati paling dalam lawan bicaranya. Dia cocok jadi trainer motivator.
Yasir menghela nafas berat, dadanya terasa sakit. Sakit karena sedih juga karena luka tembak. Dia hapus air matanya dengan tangan kirinya yang bebas, karena ada selang infus di lengan kanannya. “Maafkan saya Mas. Maafkan saya Bu, Bapak”, Yasir memandang ke arah majikannya. Mereka tersenyum penuh kasih.
“Lekas sembuh Sir. Nanti ajak Ana menginap di rumah, bareng Mba Rina juga”, Ibu Atmaja lemah lembut.
“Iya Bu”, Yasir menyahut lirih.
===============***==============
Satu respons untuk “Trust (2)”