Seseorang dianggap berprestasi, karena ada orang lain yang mengakui, akan prestasi tersebut. Bayangkan jika suatu pertandingan olahraga selalu seri. Ga ada yang kalah dan menang, lantas, siapa yang dapat prestasi?
Tapi, jika menentukan yang berprestasi dalam suatu pertandingan, tentu lebih mudah. Karena jelas ada regulasi, aturan main dan segala hal terkait dengan apa yang dipertandingkan.
Bagaimana jika menentukan prestasi dari hal yang single, solo, tidak ada lawan. Misal seseorang mampu melakukan sesuatu yang tidak semua orang bisa melakukannya. Suatu hal yang luar biasa. Sayangnya semua orang cuek saja dengan hal luar biasa tersebut. Tidak ada yang menghargai hasil jerih payahnya. Seolah itu biasa saja. Tidak ada satupun orang yang memberikan apresiasi atas hal luar biasa tersebut. Lantas apakah hal tersebut bisa di sebut luar biasa? Apakah bisa disebut prestasi?
Pengakuan. Suatu hal yang kadang memerlukan kesensitifan, perasaan, empati. Tanpa empati, maka akan sulit mengakui kelebihan orang lain. Apresiasi saat si balita mulai bisa jalan, misalnya. Seneng, bahagia. Apresiasi saat si anak TK mampu menghafal angka 1 sampai 10. Apakah sulit?
“Anak ayah pinter”.
Mudah bukan?
Bahkan kata “Terimakasih” oleh pedagang kepada orang yang sudah membeli, adalah suatu pengakuan, apresiasi, yang mampu menarik pembeli menjadi pelanggan. Tetapi sebaliknya, pembeli mengucap terimakasih kepada penjual. Mungkin? Terimakasih, karena sudah menjual barang yang dibutuhkan pembeli. Pengakuan bahwa si penjual, tidak sekedar mencari untung, tapi juga memberi manfaat bagi pembeli. Sulit?
Bahkan keikhlasan dan ketulusan kadang perlu apresiasi, untuk memperkuat keikhlasan dan ketulusan itu sendiri.
“Terimakasih, sudah membantu”
Kata sederhana, mampu menghindari prasangka dari si penolong, sekaligus menguatkan ketulusannya dalam membantu. (Tri)
terimakasih, maaf, tolong…
sue sue ilang seko kamus… 😆
SukaSuka
Ojo diilangke, nek ilang lapor pak hansip wae
SukaSuka