Penther (huruf e kedua memakai aksen seperti kata unggas bebek) merupakan dialek Banyumasan yang berarti atau menggambarkan cuaca cerah.
Penther berarti cahaya matahari cukup terik, hal yang diharapkan oleh sebagian masyarakat untuk menjemur, entah pakaian, padi, kayu bakar dan mungkin juga ‘krekel’. Hal yang lumrah terjadi di musim kemarau

Mengapa di musim kemarau penggambaran saya seperti di atas?
Hal tersebut adalah gambaran kemarau di masa kecil saya. Aneka jemuran (kecuali padi) bahan pangan yang diawetkan dengan cara dipanaskan di bawah terik matahari. Aneka bahan makanan ini didominasi oleh pala pendem alias umbi-umbian yang tumbuh di dalam tanah. Umbi-umbian paling banyak adalah ubi kayu atau singkong, di kampung saya disebut dengan lobak.
Lobak? Ya, lobak adalah kebiasaan kami menyebut singkong dalam dialek Banyumasan sisi selatan, ada juga yang menyebut boled, tapi lobak adalah kata yang paling umum di beberapa desa sekitar tempat tinggal saya.
Lantas apa bedanya dengan lobak sayur? Untuk menyebut lobak sayur yang dikenal umum, kami menyebutnya kobak. Aneh ya? Tentu beda wilayah beda penyebutan, banyak sekali perbedaan dari wilayah satu dan lainnya di Indonesia ini. Bahkan ubi jalar (termasuk ubi Cilembu) di kami disebut munthul (Banyumas) , sedang di Karawang disebut boled, padahal boled di Banyumas dinisbatkan ke singkong.
Kembali ke pembahasan jemuran saat penther di musim kemarau versi tanah kelahiran saya, yaitu Banyumas.

‘Krekel’, sekali lagi kedua e memakai aksen. Krekel adalah sebutan khusus untuk singkong yang dijemur. Ini adalah cara mudah mengawetkan makanan guna persiapan menghadapi masa paceklik.
Singkong yang dijemur asal-asalan ini, eh asal-asalan? Ya asal-asalan. Singkong mentah dikupas sekedarnya, kulitnya tidak sampai bersih, lalu digeletakin di atas tanah yang agak lapang, yang mendapat sinar matahari langsung. Tanpa alas? Ya, tanpa alas, meski ada beberapa orang yang menggunakan alas karena jumlah sedikit dan memudahkan pengangkatan saat sore, besok pagi jemur lagi. Berulang sampai singkong menghitam bahkan kerap berjamur, inilah yang kami sebut krekel.
Dari proses peng’krekel’an singkong di atas, maka akan didapat beberapa jenis makanan turunan, seperti inthil atau tiwul, oyek, gathot, dan beberapa makanan lain.

Oh iya, dari krekel agar bisa dimakan masih ada proses lagi. Ditumbuk halus dikukus jadi thiwul, ditumbuk kasar dikukus jadi gathot. Keduanya biasanya disajikan dengan ampas, ampas yang kami maksud adalah kelapa yang diparut dengan bubuhan garam. Tiwul dan gathot masih bisa diolah lagi dengan dioseng bersama aneka bumbu termasuk cabai untuk merangsang rasa bagi penyuka pedas.

Krekel singkong adalah salah satu cara kami menghadapi masa paceklik. Krekel dapat disimpan sampai bertahun-tahun, minimal sampai masa paceklik berikutnya. Tentu masih banyak makanan lain, termasuk kerupuk gadung, umbi-umbian bakar yang biasa kami sebut beneman (singkong, talas dan semacamnya) dan berbagai aneka sajian khas ‘mangsa ketiga’ alias kemarau, di mana tumbuhan sulit tumbuh dan berbuah karena kurangnya air.
Bagaimana dengan mangsa paceklik di tempat pembaca? (tri)