Trust (3)


TELAGA SADANG

Esok harinya Vera sudah duduk di kursi roda, didorong oleh maminya menuju ruang rawat inap dimana yasir berada. Ya, Yasir sudah dipindahkan ke ruang rawat dengan ditunggu oleh Cak No. Sementara Sanjaya sudah pergi ke kantor di Malang.

“Yo opo kabare Cak?”, mami Vera menyapa Cak No yang sedang berada di luar ruang rawat itu.

“Oh baik Bu, monggo-monggo”, tergopoh Cak No mempersilahkan isteri konglomerat itu, “Non Vera gimana kabar hari ini?”, Kata Cak No selanjutnya menengok ke arah vera yang duduk di kursi roda.

“Baik Cak. Apa Yasir sudah bangun Cak? Apa boleh saya menjenguknya?”, nada kawatir jelas terpancar dari kalimat itu.

“Sudah Non, sudah dari tadi kok. Silahkan”, jawab Cak No cepat sambil membuka pintu ruangan. “Sir, lihat siapa yang datang, yang dari kemarin kamu tanyakan ini”, suara Cak No menggema di ruang inap yang bau obat itu, nadanya bukan memberi tahu tapi seperti sengaja menggoda Yasir.

Yasir yang sedang berbaring terkejut mendengar suara Cak No, “Siapa Cak?”, kata Yasir sambil memiringkan tubuhnya ke arah pintu masuk, “Eh Ve, Ibu. Silahkan masuk. Ve, gimana kondisimu?”.

“Lebih baik dari kamu pastinya Sir”. Jawab vera cepat. “Ini aku udah bisa sampai sini. Bahkan lusa aku udah diijinin pulang sama dokter”

“Maaf ve, niatnya saya mau diajak Mas Sanjaya menjengukmu, eh keduluan”, Yasir diam sejenak, “Maaf Ve…. Maaf sudah membuatmu celaka Ve”. Lanjut Yasir dengan sedikit terbata.

“Tidak Sir, tidak. Ini sudah garis takdir, tidak bisa ditolak. Kamu tidak salah apapun, kita semua tahu itu kan”, Vera menjawab dengan tegas.

“Suda Sir, semua sudah terjadi. Benar kata Vera, kamu tidak perlu merasa bersalah apalagi merasa bertanggung jawab dengan apa yang sudah terjadi”, mami Vera menimpali. “Sekarang kamu fokus sama kesehatan kamu ya, biar cepat pulang. Ana pasti sudah kangen sama bapaknya”, lanjut mami Vera.

“Makasih Bu, maaf jadi merepotkan semuanya”.

“Tidak Sir, kamu tidak merepotkan. Kita semua kan keluarga, ya memang harus gini. Wis ra sah mbok pikir jero, ben ndang mari ben enggal balik nang Malang yo, aku wis kangen karo gudang beras, jo ojo becaku ono sing nyolong hehehe”, Cak No berusaha mencairkan suasana yang sedikit kalut itu.

Sementara Yasir masih terus memperhatikan Vera dan maminya. Dia merasa ada yang janggal dengan Vera, karena Vera nampak sudah cukup sehat, tapi mengapa masih menggunakan kursi roda. Yasir perhatikan kaki Vera yang hanya menggunakan sendal rumah sakit. Dari tadi Yasir tidak melihat pergerakan pada jari-jari kaki lentik itu. “Maaf Ve, apa kakimu baik-baik saja?”

“Ba-baik Sir, tidak apa-apa”. Vera menjawab dengan sedikit gagap. “Cuma kata dokter memang belum boleh banyak bergerak biar lekas pulih, makanya aku pakai kursi roda”. Lanjut Vera diplomatis menutupi keadaan kakinya yang sebenarnya belum normal. Ya masih belum bisa digerakan, apalagi buat jalan. Kawatir, kalo sampai Yasir tahu, maka Yasir akan makin merasa bersalah, dia sudah pesan ke semua orang agar merahasiakan hal tersebut. Termasuk Cak No dan Sanjaya.

“Sir, kami balik kamar dulu ya, kawatir dicariin sama suster”, Mami Vera segera berpamitan agar Yasir tidak makin menyelidik kondisi kaki Vera yang sebenarnya. “Cepet pulih ya Sir, biar lekas ketemu sama Ana”. Lanjutnya sambil mendorong kursi roda Vera.

“Sir, Cak, Vera balik kamar ya”, ucap Vera sebelum sampai pintu kamar.

Yasir hanya mengangguk. Dia masih merasa tidak percaya dengan jawaban Vera barusan, tapi dia juga tidak mau memaksa dan sekarang Yasir merasa makin bersalah karena prasangkanya itu. Maaf Ve, batin Yasir perih. Ingatanya mengawang mundur ke beberapa pekan silam, saat merak pulang dari pengecakan pabrik Lamongan dan vera mengajak mampir ke salah satu destinasi wisata di kabupaten tersebut. kebetulan hari belum terlalu sore.

Telaga Sadang, adalah salah satu destinasi wisata di kabupaten Lamongan Jawa Timur, tepatnya di desa Blusi kecamatan Solokuro. Telaga atau danau yang terbentuk dari galian tambang batu kapur dan membentuk kolam cukup lebar yang menampung air hujan juga adanya mata air yang muncul di beberap titik galian membuat cekungan itu menyerupai danau. Air danau yang kehijauan makin exotik dengan dinding batu kapur berwarna putih memagari hampir sekelilingnya. Pancaran sinar matahari memantul dari dari permukaan danau dan memberikan efek warna gradasi pada dinding batu kapur, layaknya lukisan pelangi.

“Lihat danau itu Sir”. Ucap Vera

“Iya Ve, kenapa?”

“Nampak begitu indah dengan permukaan yang tenang, Damai apalagi jika kondisi sepi, pasti tempat ini cukup nyaman untuk ‘ngadem’ sejenak dari ingar-bingar dunia”, ucapan Vera seolah lebih kepada dirinya sendiri. Saat itu mereka duduk berdampingan di salah satu sudut pinggiran danau beralaskan bebatuan kapur yang mengeras.

“Mengapa perlu menghindar dari ingar-bingar dunia Ve?”, Yasir menimpali.

“Entahlah Sir, aku hanya kadang merasa terlalu lelah dalam menjalani hari-hariku. Ada hal yang tidak kumengerti mengapa aku merindukan kesunyian dari alam”, jawab Vera dengan suara yang pelan. “Sebenarnya aku merasa bosan dengan hidupku yang kurasa terlalu sempurna Sir, tidak ada yang kurang sedikitpun, bisa dibilang begitu”. Lanjut gadis itu dengan suara yang sedikit lebih keras dari sebelumnya,

“Mengapa Ve? Saat banyak orang lain berusaha mencari kesempurnaan hidup, berjuang meraih dengan susah payah, kamu justeru bosan dengan kesempurnaan yang kau miliki? Aneh kamu Ve”.

“Iya Sir, aku juga merasa aneh hehehe”, tawa Vera lebih terdengar sumbang, “Entahlah Sir, aku mungkin iri sama kamu, mungkin”. Vera diam sejenak melirik sekilas ke wajah Yasir karena jelas ekpresi terkejut tergambar di wajah tegasnya. “Hidupmu penuh warna, penuh perjuangan dan tantangan, sementara aku, cukup diam dan ungkang-ungkang kaki, semua keinginanku bisa terwujud, Semakin aku memikirkan hal tersebut, entah mengapa aku semakin kalut dan ada kehampaan yang melanda dada”.

Yasir masih diam, mencoba memahami kalimat yang terlontar dari bibir manis Vera, aneh, pikir Yasir, mengapa justeru vera menginginkan kehidupan seperti dirinya. Tantangan? Karena Yasir menjalani kehidupannya begitu saja. “Mengapa kamu berpikir seperti itu Ve? Saya hidup berdasar keadaan yang ada, tidak sekalipun mengada-ada biar terasa seru. Ya biginilah hidup saya, mengapa kamu menginginkan kehidupan seperti saya?”, akhirnya Yasir bersuara karena vera masih diam. Pandangan gadis itu meneraang ke arah air danau yang menyilaukan karena pantulan sinar mentari sore yang hangat.

“Tidak, tidak Sir. aku tidak menginginkan kehidupan sepertimu, hanya merasa hidupku datar dan membosankan. Itu saja”.

“Apakah kamu menyibukan diri di pabrik dan juga meminta pendirian pabrik baru agar kamu memiliki tantangan?”

“Ya, itu salah satunya. Aku berharap dalam mengelola pabrik baru tersebut mendapat tantangan yang bisa menghilangkan kehampaan yang kerap mendera. Dan dari awal kita survei, aku sungguh suka. Ketemu dengan berbagai karakter masyarakat itu. Menghadapi berbagai pribadi berbeda secara langsung, karena selama ini aku selalu berdiri di belakang punggung papi. Papi selalu melindungiku, mengkhawatirkan aku”, lagi-lagi Vera diam, “kamu tahu bukan, bahkan sampai kuliahpun papi masih kerap mengantar dan menjemputku”.

“Tapi saya lihat, mereka tidak mengekangmu Ve”.

“Tidak, memang tidak Sir. Papi dan mami tidak pernah mengekangku. Mereka adalah orang tua idaman yang sangat mengasihi dan menyayangiku. Dan justeru karena hal tersbut, aku takut Sir. Aku takut tidak mampu berdiri sendiri saat mereka tiada. Aku takut suatu saat mereka akan pergi meninggalkaku sendirian. Aku mengkhawatirkan seuatu yang belum terjadi dan itu cukup menyiksaku. Makanya aku bertekad untuk bisa mengelola pabrik baru itu tanpa campur tangan papi selain modal tentunya, agar aku siap dengan segala hal yang mungkin terjadi di masa mendatang, siap sendiri dan siap madiri”.

“Berarti kamu tidak membutuhkan saya lagi Ve, tekadmu udah cukup kuat”. Yasir menginterupsi.

“Tentu saja aku membutuhkanmu Sir, memang yang punya ide siapa? Dan sekali lagi aku tegaskan, aku masih iri sama kamu dan aku masih harus belajar menghadapi tantangan itu bersamamu. Ma-maksudku kamu yang akan membantuku tentu saja”. Vera gak tergagap karena menyebut kata ‘bersamamu’ yang seolah memiliki makna ambigu.

Iya Ve, aku akan membantumu dan kamu tidak perlu iri, maksudku itu bukan iri, kamu hanya ingin memiliki ceritamu sendiri dan kamu akan dapatkan itu. Tapi kita tentu tetap membutuhkan bimbingan Ka Rendi yang lebih berpengalaman. Bagaimanapun, saya masih baru dalam binis pabrik beras meski sudah sedikit mempelajari di Arjosari tapi saya tidak mau gegabah, karena bisnis kali melibatkan modal yang tidak main-main”, Yasir diam sejenak, “Dan Ve, saya minta, kamu tidak mengedepankan emosimu apalagi ambisi akan sebuah pencapaian, tidak baik. Kamu harus dengarkan setiap masukan dari Ka Rendi”.

Iya Sir, aku akan ndengerin kamu”.

“Ka Rendi Ve, bukan saya”

“Eh, iya-iya”. Vera nampak lelah, beberapa kali menguap. Lalu dia mengerling pundak Yasir dan Yasir pun sedang menatapnya, “Bolehkah?” Tanyanya ragu, ingin menyandarkan kepalanya ke pundak kokoh Yasir, dia benar-benar merasa lelah sekaligus lega setelah menyampaikan unek-unek yang selama ini mendera pikirannya. Yasir hanya mengangguk dan gadis itupun memiringkan tubuh, merubah posisi memunggungi pundak Yasir dan menyender, memjamkan mata. Yasir hanya diam, membiarkan wajah oriental itu menunduk dan meredup sampai suara nafas halus yang teratur terdengar beberapa menit kemudian. Setelah bebrap saat menunggu, Yasir menggeser badan dan menahan tubh Vera, lalu dibaringkan tubuh molek itu ke permukaan batu kapur yang diberi alas jaketnya, dan menjadikan pahanya sebagai bantal. Vera menggeliat sesaat tapi sejurus kemudian kembali nafasnya halus teratur.

Yasir diam dan berusaha menjaga tubuhnya agar tidak terlalu bergerak, meski pegal mulai menghinggapi badannya, dia sengaja membiarkan Vera tertidur hingga temaram senja mulai merayap dan memberikan gradasi warna baru di permukaan air danau. memantul ke dinding putih batu kapur yang memagari. Yasir terpesona dengan lukisan alam yang begitu exotik tercipta dari paduan Telaga Sadang dan sinar surya yang hendak kembali ke peraduan. “Masya Allah indahnya” ucapnya.

Vera menggeliat dan memicingkan matanya karena mendengar gumamman Yasir, dia cukup kaget karena mendapati dirinya berbaring dan kepalanya di atas paha Yasir. Buru-buru dia bangun.

“Udah bangun Ve? Ayo pulang, udah mau Magrib ini”.

“Eh iya Sir, ayok”, Balas Vera sambil menunduk malu, merutuki dirinya yang tertidur begitu pulas dengan posisi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat dan ada rasa panas di mukanya.

Sementara Yasir mengabaikan semua itu, dia beranggapan Vera terlalu lelah dengan pikiran anehnya. Pikiran aneh seorang manusia yang sempurna tanpa kekurangan, baik materi maupun fisiknya. Dasar orang kaya, batin Yasir sambil berjalan menuju parkiran diikuti Vera.

“Ngopo kon malah nglamun ditinggal Vera Sir?”, Suara Cak No membuyarkan lamunan Yasir tentang Vera dan Telaga Sadang.

“Ora Cak, aku mung kangen karo Ana, pengin ndang mulih”.

“Kangen Vera yo ga popo to Sir, jik single, ayu eram ngunu koyo pramugari”.

“Apaan si Cak No , ish”, Yasir tetap mengelak, memang dia belum move on dari mendiang isterinya, meski dalam hatinya dia membenarkan apa yang diucapkan Cak No. Vera memang cantik, smart, pantas kalo dulu dijuluki artisnya akuntansi, terlalu sempurna jika disandingkan dengan dirinya, begitulah pemikiran Yasir.

“Yowes istirahat, biar lekas sembuh dan pulang ke rumah. Aku yo kangen karo ojobku, suwe ra nananina hahahaha”. Jawab Cak No sambil berkelakar. Tukang becak satu ini memang selalu mesra sama isterinya, alhasil anaknya makin bertambah, bahkan sekarang isterinya juga sedang hamil muda.

================***===============

Iklan

Tinggalkan Balasan

Please log in using one of these methods to post your comment:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s