Kututup telinga, kami terus melangkah menuruni jalan berbukit itu, berpayung daun pisang menembus kabut yang mulai turun, senjapun mulai menyapa. Simbok dan aku tetap gontai, sementara nini yang sudah sepuh mulai tertinggal. Tapi dengan santai Nini terus mengikuti kami, mulutnya terus bergerak mengunyam sirih, sambil sesekali membuang ludah berwarna merah kecoklatan, paduan kinang (pinang, sirih, kapur dan gambir).
Rintik hujan terus mengiringi, diselingi kilat yang menyambar dahsyat di antara awan yang bergulung putih kelabu, sebentar-bentar kupelototi kilat yang biasa kusebut “lidah” , berkerlip menyilaukan tapi menimbulkan rasa ingin tahu. Kilatnya begitu nyata, tapi petir dan hujan reda, kemana efek kilat itu, bukannya kilat akan diiringi suara geluduk yang bergema di angkasa, apalagi kampungku yang berbukit. Gemanya akan memekakan layaknya nuklir Hiroshima. Lanjutkan membaca Hujan Petir Petang Ini