Kelakar Purwojaya Malam


Bergegas kupacu sepeda motor bebek. Adik yang kubonceng berpegang erat. Stasiun kereta Purwokerto tujuan pasti. Jadwal keberangkatan Purwojaya malam makin dekat. Aku yang diantar.

Tak kupedulikan jari-jari roda yang patah 2 batang karena menahan benturan dengan aspal Banyumas yang bergelombang. Sebagian jalan di Jawa Tengan terkenal Buruk. Entahlah

Sampai stasiun, tergopoh kutebus selembar tiket bisnis dan masuk peron, Purwojaya Malam sudah menunggu.

Gerbong 3, kursi 12C. Tidak dekat dinding gerbong berarti.

Benar saja, nampak gadis berkerudung abu-abu di 12D. Seorang bapak setengah baya baru turun dan melambaikan tangan padanya. Barangkali itu bapaknya yang mengantar, membawakan barang, oleh-oleh dari kampung halaman.

Jadi teringat bapaku yang saat itu terbaring di RS Emanuel Banjarnegara. Yah, barusan aku berangkat dari Rumah Sakit swasta yang cukup terpercaya, baik perawatan maupun biayanya. Yah, seperti sebuah barang, ada harga ada rupa, pun jasa perawatan rumah sakit.

Sekali lagi, bapak pengantar kerudung abu-abu melambaikan tangan saat Purwojaya mulai melaju, bibirnya berucap sesuatu, mungkin pesan,
“hati-hati di perantauan nak”.
“jangan lupa telpon bapak kalo sudah sampai”.
“salam buat si anu ya”.
Dan mungkin ucapan lain, tanda khawatir karena sayang orang tua pada anaknya. Aku hanya bisa menebak.

Sekali lagi aku teringat bapak di pembaringan yang bau obat menyengat itu.

Week end, tak ada kursi kosong. Tak ada untung kali ini. Kalo di week days, satu tiket bisa dapat dua kursi. Alias, kursi sebelah kosong.

Aku duduk terdiam, begitupun si kerudung abu-abu di sampingku. Aku yang baru belajar alim, benar-benar belagak alim. Memalingkan muka tuk mengenali wajah si kerudung urung kulakukan. Apalagi tuk menyapanya. Tapi aku yakin, si kerudung pasti punya wajah. Tidak mungkin rata kaya film horor mesum dalam negeri.

Dalam diam, kukeluarkan ponsel Symbian, Nokia 5700 express music. Aplikasi panutan umat kubaca, bukan jaga-jaga takut ada muka rata. Memang ada target hafalan, dan akupun sukses belagak alim tanpa dibuat-buat.

Si kerudung abu-abu juga nampak sibuk, asik membaca buku rupanya. Saat kukerlingkan ekor mataku, kutahu, buku bacaan religius. Klop. Pikirku

Entah siapa dan kapan sapa itu terucap. Namanya Fi.
“Mba Fi turun di mana?” tanyaku basi tanpa menatapnya.
“Jatinegara” jawab Fi, kalem. Sejuk terdengar.
“Ikut liqoh ya?” tanyaku menebak, dari buku bacaan yang tidak biasa.
“Enggak kok, emang suka baca aja” jawab Fi, tetap kalem dan sejuk.

Obrolan makin renyah bak kripik tempe aseli Sokaraja.
Fi kerja di Bank swasta nasional yang terkenal itu. Thamrin. Jakarta. Berstatus kontrak outshorcing.
Suaminya juga kerja di Jakarta.

Suami? Yap, Fi sudah bersuami, bisa dikatakan pengantin baru, jadi belum punya momongan.
Kepulangannya ke Purwokerto untuk mengikuti tes penerimaan pegawai baru di salah satu bank. Dia ingin kerja di kampung halaman, karena tak lama lagi, suaminya juga pindah tugas ke Jawa Tengah.

2 jam perjalanan, obrolan sesekali terhenti, aku tak mau terlalu menyelidik. Sebagai lelaki normal, aku tentu betah ngobrol dengan Fi, orangnya smart, subyektif memang, tapi itulah kesanku tentang Fi. Dia juga cantik.
Cantik? Yah, tentu tak sopan jika ngobrol dengan selalu membuang muka, sesekali aku menengok wajahnya. Sekilas saja cukup untuk mengenali rupawan itu.
Karena takut srigala muncul dari kenormalanku, maka kupersilahkan Fi memejamkan mata, Jakarta masih 3 jam perjalanan, bahkan lebih.
Akupun mencoba, bersandar lebih ke kiri. Aku tak mau sampai bersenggolan badan dengan Fi. Pun saat kenalan tadi, kami tidak salaman. Benar, aku belagak alim tanpa dibuat-buat.
Oh iya, aku juga bercerita siapa aku. Tentang isteri tercinta dan si kembar yang ngegemesin. Fi nampak iri dengan anak kembarku. Aku jadi bangga dan bersyukur memiliki keluarga ini.

“Sampai mana nih Mas?” tanya Fi, sambil mengucek mata.
“Baru Karawang, masih jauh, tidur aja lagi, nanti aku bangunin kalo udah Jatinegara” jawabku, sok dewasa.
Tapi Fi memilih terjaga dan obrolan basa basi tak terelakan. Meski terbata tapi berlanjut hingga Jatinegara.

“Mas, saya duluan ya”, kata Fi sambil bangkit.
“Oh, ya”, jawabku terbata sambil berdiri mengambilkan buah tangan yang disimpan di tempat barang.

Fi berlalu dengan seulas salam dan senyum sejuk.
“Wa’alikum salam”, jawabku sefaseh mungkin.

Di luar gerbong, nampak seorang lelaki gagah menunggu. Pasti suaminya yang menjemput.
Barang bawaan berpindah tangan, beriringan mereka menyusuri peron stasiun Jatinegara.

Meski beberapa jam dalam obrolan dan candaan yang tidak terlalu akrab, aku merasa sangat mengenal Fi.  Fi permpuan biasa dengan keistimewaan yang belum tertebak.
Jadi kuyakin, meski mengekor suaminya, jelang pintu keluar stasiun, Fi akan berpaling ke arah gerbong tempatku berada.
Benar terjadi, entah dia ingin melihat nomer gerbong, atau botol air mineralnya ketinggalan. Karena jarak yang ada tidak mungkin Fi bisa melihatku dalam gerbong.
Meski begitu, aku bisa melihat kerling mata Fi. Ada isyarat sayu menusuk mataku.

Enam tahun. Mungkin Fi sekarang sudah mengabdi di kampung halaman. Atau bertahan di metropolitan karena tidak lulus tes penerimaan karyawan. Entahlah.
Jangankan enam tahun, sesampai di stasiun Gambir, aku sudah lupa rupa Fi. Hanya derap Purwojaya Malam yang mengingatkan kenangan. Tidak wajah Fi.
Tak ada harap, karena Purwojaya Malam makin mahal.(tri)

**************
Posted from WordPress for Android Wonder Roti Jahe

15 respons untuk ‘Kelakar Purwojaya Malam

  1. seiring berjalan waktu, wajah Fi bukannya memudar, malah kini menjelma jadi setan-setan jalanan yang bikin sesama pengguna jalan merasa sumpek karena macet di mana-mana.

    Fi ini terutama buatan pabrik yang bermarkas di Sunter *mlayyyuuuuuuuu

    *Fi fuel injection :mrgreen:

    Suka

Tinggalkan komentar