Waspada Tangan Jahil DI Transjakarta (Busway)


Beberapa waktu lalu, saya sekeluarga hendak berkunjung ke rumah saudara di Depok, tepatnya Srengseng Sawah. Dengan menumpang Bus kebanggaan DKI Jakarta, Transjakarta yang akrab disebut Busway (padahal arti busway adalah jalan bus, jadi tidak salah kalo ada yang bilang naik busway berarti ngesot di jalan raya :mrgreen: ).

Pemandangan lumrah di jembatan penyebrangan (sekaligus jalur shelter bus) Jembatan Gantung, Daan Mogot

Setelah bersabar menunggu di shelter Jembatan Gantung, Daan Mogot, akhirnya saya sekeluarga dapat armada bus yang menuju Harmoni, penuh sesak, terpaksa berdiri sambil menggandeng anak. Sampai akhirnya transit di harmoni.

shelter dan antrian busway di harmoni
shelter dan antrian busway di harmoni

Di Harmoni antrian penumpang selalu membludak, kita harus segera bersiap di antrian agar cepat dapat tumpangan, kami akan menuju Ragunan, maka naik bus arah blok M, untuk kemudian transit di Dukuh Atas. Alhamdulillah, karena saya dan isteri masing-masing menggendong anak (anak ngambek) berhasil membuat kasihan penumpang lain, dan mengikhlaskan tempat duduknya buat kami (indahnya berbagi).  Meski duduk, tidak membuat saya nyaman, karena penuh sesak dan ada perasaan tidak adil, apalagi kepada orang yang telah memberikan tempat duduknya, dan rela berdiri demi saya dan anak. Mereka juga bayar sama. Tapi inilah jakarta, Transjakarta armadanya masih terbatas. Terimakasih banyak kepada saudara yang telah berbaik budi kepada saya, semoga dilapangkan rizkinya. Amin

Sampai Dukuh Atas (1)  kami turun, dan meniti jembatan shelter (sekaligus jembatan penyeberangan) menuju Shelter Dukuh Atas (2). Di shelter ini (Dukuh Atas 2) antrian laki-laki dan perempuan dipisah, saya dan si kembar cowo di antrian laki-laki, sedang isteri di antrian cewe menggandeng si kembar cewe (anaku kembar cowo-cewe, basa jawanya dampit).

Saat menunggu kedatangan bus, sambil bercanda dengan anak (agar tidak jenuh), saya berselancar di dunia maya menggunakan ponsel, beberapa penumpang juga melakukan hal sama, sebagian besar memasang ear phone pada gadgetnya, sedang ponsel digenggaman. Antrian tidak terlalu ramai. Saya liat  seorang pemuda, cukup gagah dengan kacamata rayband, pakaian perlente, tas ransel ukuran sedang digendong di depan, sama yang dilakukan oleh sebagian penumpang bus. Pemuda ini juga sambil memainkan ponselnya, saya tidak curiga sama sekali.

Bus datang, penumpang bersiap menaikinya, saya kantongi ponsel di saku celana bagian kiri, langsung saya gandeng tangan anak bersiap masuk ke bus, saat melangkah melewati rongga antara shelter dan pintu bus, tangan kiri saya yang menggandeng anak menyentuh, benda mencurigakan di dekat saku kiri celana, saya sadar ternya itu tangan orang, reflek tangan saya jepit tangan “JAHIL” tersebut, tanpa melepaskan gandengan ke tangan anak. Hingga memasuki bus, jepitan terhadap tangan terduga JAHIL tidak saya lepaskan, sebagian telapak tangan si JAHIL sudah masuk ke saku celana saya.

Saya interogasi si pemilik tangan, yang ternyata adalah pemuda perlente berkacamata rayband di antrian tadi, dia berkelit dengan alasan antrian penuh, banyak penumpang, dan alasan lain, penumpang lain hanya memperhatikan saja. Sampai saya tarik pemuda itu, agar menghadapkan mukanya ke saya, saya perhatikan muka tersebut sambil saya bilang “saya sudah hafal”

Nekad ? Ya, saya nekad, darah mudaku sesaat bergejolak meminta pelampiasan, beruntung mampu saya redam, dan secara tiba-tiba pemuda itu memanggil penumpang lain, yang juga seorang pemuda berkacamata bening, keduanya nampak akrab, padahal dari antrian sampai masuk ke dalam bis, pemuda tersebut sama sekali tidak bercakap-cakap dengan siapapun. Ini modus copet di banyak angkutan umum Jakarta, mereka tidak bekerja sendiri, berkelompok untuk menjaga dari berbagai kemungkinan. Saya tidak merasa takut, saya perhatiin keduanya juga tidak berani balas melihat ke saya. Saya hapalin muka keduanya.

Sampai akhirnya bus berhenti pada shelter terakhir, yaitu Ragunan. Kedua penumpang mencurigakan tersebut tidak nampak turun bareng penumpang yang lain, masih bersantai di jok bus. Entah rencana atau taktik apalagi yang akan dijalankan oleh gerombolan tersebut. Saya sempat menunggu keduanya sambil makan bakso di warung, di depan pintu keluar shelter, Terminal Ragunan. tapi keduanya tidak menampakan diri. “Sorry Bung, Gw bukan aseli Jakarta, tapi 10 tahun, lebih dari cukup untuk mengakrabi Jakarta, lo masih kacangan” batinku sambil menyuapi si dampit potongan basho urat.

Wassalamu”alaikum

23 respons untuk ‘Waspada Tangan Jahil DI Transjakarta (Busway)

  1. nek aku tak kadali tuh copet….wkt plng drPRJ naik metromini. dompet. kosongin….eee diembat jg. makan tuh dompet murahan….hehehe.
    dr sebelumnya kyk dah dpt feeling gak enak…jd antisipasi.

    Suka

  2. kok jd kelingan mbiyen tau rame2 nguncalke copet seko sepur Progo, sesaat pancen merasa marem tp saiki ko jd getun telah berbuat sadis 😦

    Suka

Tinggalkan Balasan ke ipanase Batalkan balasan